Wednesday, August 8, 2001

Göbekli Tepe di Langit Lain Tentang Sinyal, Batu, dan Kesadaran yang Merespons

Barangkali, di bawah langit lain yang tak pernah kita lihat, ada tangan-tangan asing yang sedang menata batu-batu besar seperti yang pernah dilakukan manusia di Anatolia sepuluh ribu tahun silam. Barangkali di planet jauh itu, di dataran yang dingin dan sunyi, sekelompok makhluk antropomorfik berdiri menatap langit, mendengarkan sesuatu yang datang bukan dari bintang mereka, melainkan dari kejauhan yang tak bisa mereka bayangkan.

Kita menyebut tempat itu Göbekli Tepe, navel of the world — pusar dunia. Tempat pertama di mana manusia memutuskan untuk menegakkan batu, bukan untuk tempat tinggal, tapi untuk berbicara dengan langit. Sebelum ada tulisan, sebelum ada kota, manusia sudah berbicara dengan cara yang sama seperti Hertz dan Marconi kelak berbicara kepada ruang: dengan getaran.

Dan mungkin, di sana, di planet lain, ada versi mereka — Göbekli Tepe yang asing. Bukan batu kapur, tapi kristal ungu atau logam ringan dari tanah mereka sendiri. Bukan pahatan binatang, tapi pola gelombang. Bukan doa dalam bahasa manusia, tapi sinyal elektromagnetik yang samar, yang mereka tangkap dari langit dan coba tafsirkan. Mereka tidak tahu itu dari Bumi; mereka hanya tahu ada sesuatu di langit yang berbicara dengan ritme dan niat.

Kita di sini juga melakukannya. Kita menulis persamaan Maxwell, membangun antena, mengirimkan pesan biner, dan menempelkan Golden Record di Voyager — lalu mengirimkannya ke luar tata surya seperti doa dari logam. Mereka di sana mungkin juga sedang melakukannya. Mereka mungkin sedang mengirim balik versi mereka dari rekaman emas itu, terbang di antara nebula, belum sampai ke kita, dan menunggu diterima oleh siapa pun yang juga merindukan jawaban.

Mungkin setiap peradaban yang mencapai kesadaran akan langit akan sampai pada satu titik yang sama: mereka berhenti membangun senjata, dan mulai mendirikan monumen, bukan untuk menaklukkan, tapi untuk mendengar.

Manusia membangun Göbekli Tepe bukan untuk bersembunyi dari dunia, tapi untuk memastikan bahwa dunia mendengarnya. Dan di ujung jagat sana, di bawah langit asing yang penuh bintang, mungkin ada makhluk lain yang sedang melakukan hal yang sama — menyusun batu, menunggu gema dari ruang, dan bertanya dengan cara yang sama seperti kita: "Apakah langit mendengar?"

Dan mungkin, ketika resonansi itu tiba, mereka tidak akan tahu bahwa itu berasal dari planet kecil berwarna biru, yang juga sedang menatap ke arah yang sama. Mereka hanya akan tahu bahwa alam semesta telah menanggapi doa mereka. Bahwa langit — bagaimanapun jauhnya — adalah makhluk hidup yang bisa berbicara.

Barangkali inilah simetri sejati semesta: bukan jarak yang dipendekkan, tapi kerinduan yang bersambut di dua ujung ruang. Manusia di bumi, dan makhluk lain di langit lain, keduanya mengangkat wajah dan berkata: “Kami mendengarmu.”