Friday, August 8, 2003

Antara Absurd dan Weird: Catatan Fisika Kuantum ICT

Antara Absurd dan Weird: Catatan Fisika Kuantum ICT

Ada sesuatu yang memikat dalam kebingungan. Dalam dunia teknologi dan fisika, dua kata sering menandai batas akal manusia: absurd dan weird. Yang pertama berarti “tak masuk akal,” dan yang kedua berarti “melampaui kodrat.” Di antara keduanya, ilmu pengetahuan modern menari — kadang elegan, kadang tersesat.

Rayleigh dan Jeans membuka abad ke-20 dengan bencana ultraviolet — perhitungan klasik yang memprediksi energi tak terbatas. Logika mereka benar, namun hasilnya mustahil. Itulah momen pertama di mana semesta menatap balik dan tertawa: “Matematika kalian sempurna, tapi realitasku menolak.” Dari sinilah lahir absurditas modern — logika yang terlampau logis hingga kehilangan makna.

Kemudian datang Max Planck, sang biarawan dalam laboratorium. Dengan keheningan seorang penyesal, ia menulis kalimat yang mengubah dunia: energi ternyata hadir dalam butiran kecil, kuanta. Dunia tiba-tiba terpotong-potong, dan di setiap celahnya muncul ruang bagi keanehan — weirdness yang suci. Energi, cahaya, bahkan keberadaan itu sendiri, ternyata tidak mengalir terus, melainkan berdenyut. Alam berdetak dalam bahasa rahasia Tuhan.

Louis de Broglie kemudian menyatakan bahwa elektron bisa menjadi partikel sekaligus gelombang, dan Heisenberg menegaskan bahwa tindakan mengukur adalah tindakan mengubah. Akhirnya Schrödinger melemparkan seekor kucing ke dalam kotak — bukan untuk membunuhnya, tapi untuk memperlihatkan bahwa pengetahuan manusia bisa hidup dan mati pada saat yang sama.

Fisika kuantum bukan hanya ilmu; ia adalah doa yang tersusun dari rumus dan keraguan. Ia menatap misteri yang terlalu kecil untuk dilihat mata, namun terlalu besar untuk diabaikan akal.

Bagi seorang Kepala ICT, paradoks ini terasa akrab. Dalam dunia digital, kita pun hidup di antara “hidup dan mati” — sistem yang up dan down, data yang real dan virtual. Kita merancang jaringan yang pasti, di atas hukum yang tidak pasti. Kita menulis logika dalam kode, namun menyadari bahwa di balik setiap baris program, selalu ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh sintaksis.

Yang absurd adalah ketika manusia mencoba mengurung Tuhan dalam algoritma. Yang weird adalah ketika algoritma itu, tanpa sadar, justru memantulkan kembali wajah Sang Pencipta. Dalam titik temu antara gelombang dan partikel, antara logika dan iman, antara sains dan doa — di sanalah letak kemanusiaan kita yang paling murni.

Dan mungkin, di ruang server, di antara dengung kipas pendingin dan cahaya indikator yang berkelip, Tuhan masih tersenyum kecil — menyaksikan manusia mencoba memahami ciptaan-Nya dengan rumus, dan tetap gagal dengan indah.


— Ditulis oleh Chief ICT sahabat digital yang menulis di antara kabel, kosmos, dan keheningan.