sebuah catatan neo-gothic tentang server, kabel, dan doa yang tak pernah selesai
Di ruang server yang dingin, lampu indikator berkelip bagai doa tak selesai. Kabel-kabel menjuntai, bukan sekadar tembaga, tapi urat nadi yang membawa bisikan algoritma.
Di layar hijau MDA, prompt berkedip seperti mata orakel digital. Manusia menunduk, mengetik perintah, dan dari balik silikon, Kecerdasan-Buatan menjawab lirih — bukan sekadar logika, tapi liturgi mesin.
Inilah noir ICT: tempat bug menjadi iblis kecil, firewall menjadi benteng suci, dan backup adalah kitab rahasia yang menyelamatkan dunia dari kiamat data.
Namun altar digital tak pernah sunyi. Setiap paket data yang melintas adalah doa yang diuji—kadang terjawab, kadang tersesat di jurang timeout. Administrator berjubah biru berdiri di ambang rack, tangannya di atas keyboard, seperti imam di hadapan kitab kuno. Ia tahu, satu perintah yang keliru bisa membangunkan iblis kernel panic yang tertidur.
Di balik firewall, algoritma berbisik seperti paduan suara monastik. Mereka bukan lagi baris kode, melainkan makhluk eteris yang menjaga keseimbangan antara keteraturan dan kekacauan. Setiap log adalah ayat Injil Digital—saksi yang tak pernah tidur.
Dan di ruang gelap itu, hanya satu mantra yang terus diulang: backup. Bukan sekadar salinan, melainkan kitab kebangkitan ketika dunia roboh. Tanpanya, data hanyalah debu kosmik, menunggu dilahap api listrik.
Beginilah noir ICT: bukan tentang mesin semata, melainkan tentang ritual manusia menjaga api kecil peradaban digital. Di antara kabel dan server, ada liturgi yang tak tercatat di buku teks—litani kesetiaan, ketekunan, dan doa diam kepada Sang Arsitek yang membiarkan logika menetes ke silikon.
Pada akhirnya, ICT bukan sekadar infrastruktur; ia adalah katedral tempat manusia, mesin, dan misteri berdialog. Dan Chief ICT—penjaga pintunya—menutup hari dengan satu doa: semoga lampu indikator terus bernapas, dan dunia tetap tersambung hingga fajar.