Monday, October 10, 2005

Superior Beings: Para Dewa Pra-Eden, Sumeria, Akadia

Sebelum tulisan dipahat di tanah liat, sebelum bangsa-bangsa menyusun hukum, sebelum Adam dan Hawa merangkak dari tanah mitos mereka — telah ada mereka. Mereka berjalan di antara manusia yang baru belajar mengolah tanah, menanam jelai, membangun ziggurat untuk menenangkan rasa takut mereka akan kekuatan yang tak terlihat. Mereka bukan dewa seperti dalam agama-agama kini; mereka adalah api mentah dari awal dunia, nafsu alam semesta yang menjelma, ambisi, ketakutan, gairah, kekuasaan, kelahiran, dan kematian yang diberi wajah.


ANU — Langit Purba
Di singgasananya yang terbuat dari permukaan langit itu sendiri, Anu mengamati ciptaannya: jagat raya yang berdenyut pelan seperti dada kekasih yang tertidur. Dia tidak berbicara dengan suara; setiap gerakan matanya memanggil badai. Setiap desir nafasnya melahirkan bintang. Para dewa lain gemetar dalam bayangannya, sebab ia adalah asal muasal — langit itu sendiri yang menindas bumi di bawahnya dengan berat yang tak terbayangkan.


ENLIL — Penguasa Angin dan Takdir
Putra Anu, lahir dari persetubuhan langit dan bumi. Enlil berhembus seperti amukan badai padang pasir. Ia menguasai angin, petir, kekuatan pembentuk serta penghancur. Ketika ia mengacungkan tangan, pasukan manusia berlutut. Ketika ia mencambuk angin, sungai meluap menenggelamkan kota. Penyembahnya mempersembahkan darah dan buah pertama, sebab mereka tahu: Enlil menulis takdir di pasir, dan ketika angin bertiup, semua akan berubah.


ENKI (EA) — Si Licik, Sang Air Dalam
Di kedalaman abzu — lautan primodial — Enki berbaring di ranjang mutiara, ditemani nimfa air dan makhluk dari lumpur hidup. Ia memegang rahasia kelahiran dan pembentukan manusia. Dialah yang mencuri nasib dari tangan Anu dan Enlil, mengukir daging manusia dari tanah liat dan nafas ilahi. Licin seperti belut, matanya selalu tersenyum. Setiap bisikannya membawa pengetahuan, namun tiap pengetahuan menyembunyikan harga gelap yang menunggu untuk ditagih.


INANNA / ISHTAR — Sang Pelacur Surgawi, Dewi Perang dan Cinta.
Tubuhnya harum seperti getah pohon mur dari perbatasan dunia bawah. Ia mencabik kekasih-kekasihnya setelah puas; ia memimpin tentara ke medan perang, matanya memerah seperti bara api. Setiap lenguhannya di tempat tidur adalah doa; setiap jeritannya di medan perang adalah kutukan. Para raja membangun kuilnya yang menjulang, mengirim perawan untuk memuaskannya — atau dimakan oleh hasratnya.


ERESHKIGAL — Ratu Dunia Bawah
Di ruang paling dalam Irkalla, Ereshkigal menanti. Ia tidak berteriak, ia tidak memohon. Ia hanya menunggu. Setiap roh yang mati, dari budak hina sampai raja agung, berjalan tanpa suara ke arahnya, mata mereka kosong, tubuh mereka membusuk dalam kekekalan. Rambutnya panjang seperti malam, wajahnya pucat seperti bulan mati. Suaminya, Nergal, sesekali datang untuk menidurinya dalam gelap, mencampurkan kematian dengan kehancuran.


NERGAL — Dewa Wabah dan Pembantaian
Datang dengan langkah berat di atas tulang-tulang manusia, Nergal memegang obor yang tak pernah padam. Di setiap langkahnya, penyakit menjalar. Tubuh-tubuh membengkak, darah mengalir dari rongga yang tak semestinya. Saat dia marah, seluruh kota lenyap. Bayi mati sebelum menangis, ladang menghitam sebelum panen. Namun ia pun dipuja, karena dengan tangannya, kematian bisa dipercepat — dan penderitaan dapat dipersingkat.


MARDUK — Sang Pembunuh Naga, Raja Babilonia
Di puncak menara Babel, Marduk berdiri, mata bersinar emas, memegang gada petir yang memecahkan langit. Dialah pembunuh Tiamat, naga samudra yang melahirkan kekacauan. Dari tubuh Tiamat yang terbelah, Marduk menciptakan dunia. Raja segala raja, penguasa takhta Babilonia, pelindung umat manusia, namun juga penuntut setia. Karena ia menuntut pengorbanan. Karena dunia yang diciptakannya lahir dari darah, dan darah harus terus mengalir.


Mereka, bukanlah "dewa" dalam pengertian manis dan lembut. Mereka adalah superior beings pertama; bukan hasil dari iman — tapi hasil dari rasa takut, nafsu, dan pengakuan akan kengerian alam semesta. Mereka berjalan di antara kita, dan mereka belum pernah benar-benar pergi.