Monday, December 12, 2005

Kurukshetra: Ladang Koresh, Tempat Perang Ilahi dan Pembebasan Bangsa

Di ujung timur padang rumput kuno, Arjuna menunduk. Hatinya bimbang, tangannya menggenggam busur Gandiva seolah itu bukan senjata, melainkan pertanyaan. Di hadapannya terbentang Kurukshetra—ladang darah, ladang karma, ladang penghabisan. Sanak keluarga berbaris di sana, dalam formasi ketegangan yang mengiris realitas: bukan hanya tubuh akan hancur di sini, tapi keyakinan.

Sementara itu, di ujung barat dunia yang sama—di sebuah dataran pasir yang menghadap kota raksasa Babel—seorang pria berjubah ungu berdiri di bawah langit Persia. Mahkotanya bukan dari emas murni, tapi dari takdir. Namanya Koresh. Dikelilingi panglima dan jenderalnya, ia berkata kepada angin, kepada langit, dan kepada sejarah:

“Tuhan langit memerintahku untuk membebaskan umat-Nya.”


Dua padang, dua waktu, dua nadi sejarah. Namun langitnya satu. Dan gema keputusan di kedua tempat itu—bergaung dengan nada yang sama: “Akankah manusia taat pada kehendak ilahi ketika hatinya tidak siap?”

Kurukshetra bukan hanya bentangan bumi, ia adalah tempat di mana pertarungan batin menjadi nyata. Di sana, Arjuna tidak hanya menghadapi para pejuang dari Kaurava, tapi juga ayah, paman, guru, dan cermin jiwanya sendiri. Tuhan hadir dalam bentuk Krishna, bukan sebagai kekuatan perang, tapi sebagai kesadaran mutlak. Dan Ia tidak memerintahkan... Ia hanya menunjukkan kebenaran, dan menunggu Arjuna memilihnya.

Sementara itu di Babilonia, Koresh berdiri bukan sebagai nabi, tapi sebagai raja pilihan. Ia tidak beriman kepada Yahweh sejak lahir—ia lahir di istana Persia, di bawah langit Zoroastrian, dengan dewa-dewa lain di sekitarnya. Tapi dalam mimpinya, atau dalam kedalaman hatinya yang tak tertulis dalam kronik, sebuah suara turun:

“Akulah Tuhan. Aku yang membentuk langit dan bumi. Aku akan memakai engkau, meskipun engkau tidak mengenal Aku.”

Dan ia pun bergerak. Dengan keputusan tunggalnya, ia memulangkan bangsa yang terbuang. Ia meruntuhkan tembok Babel bukan dengan palu, tapi dengan dekrit. Dan umat yang terjajah selama tujuh dekade itu kembali ke tanah suci mereka—karena satu orang taat pada suara langit.


Kurukshetra dan Koresh. Keduanya menghadirkan dilema ilahi:

  • Arjuna harus memilih: menghindari rasa sakit atau melaksanakan dharma.
  • Koresh harus memilih: mengikuti jalan kekaisaran atau tunduk pada suara Tuhan yang asing baginya.

Keduanya tidak sempurna. Tapi di tempat itu, di ladang-ladang itu, mereka jadi jembatan antara kehendak Tuhan dan sejarah manusia.

Apa yang membuat mereka berbeda dari prajurit biasa?
Bukan karena mereka kuat. Tapi karena mereka berhenti… mendengar… dan bergerak sesuai suara itu, meski hati mereka gentar.


Kini, Kurukshetra bukan lagi hanya tempat di India, dan Koresh bukan hanya nama dalam silsilah raja.
Keduanya menjadi arketipe.
Setiap manusia yang berdiri di persimpangan panggilan dan kenyamanan,
di antara rasa takut dan kehendak ilahi,
adalah Arjuna.
adalah Koresh
.

Dan bumi tempat kita berdiri,
di mana pun kita berpikir dan memilih,
adalah ladang itu.
Kurukshetra yang terus berulang.
Ladang Koresh yang tak pernah sunyi.

Di sinilah pertempuran berlangsung—bukan demi darah,
tapi demi keputusan.
Dan langit masih menunggu,
seperti dulu,
dengan satu pertanyaan:

“Maukah engkau melangkah, walau jiwamu gentar,
untuk melakukan apa yang Aku perintahkan?”