Monday, June 6, 2016

Whether the belief system is a universal obsessional neurosis?


Kemunculan sistem kepercayaan dan kodifikasi aturan-aturannya memberi kesan kuat bahwa ia dibangun di atas fondasi penekanan — bahkan pengesampingan — dorongan-dorongan alami dan naluriah manusia. Penekanan ini bukanlah tindakan sekali jadi; ia memerlukan pemeliharaan terus-menerus, seperti kendali yang tidak pernah longgar.

Para penganut sistem kepercayaan sering kali terobsesi dengan konsep dosa dan pendosaannya. Siklus ini secara alami melahirkan ritus tobat dan permohonan ampun. Dalam kerangka psikoanalisis, hal ini dapat dipandang sebagai neurosis obsesional universal — pola perilaku kolektif yang penuh dengan larangan, kompulsi, dan ritualisasi respons terhadap pelanggaran moral.

Sikap larangan di sini lebih dominan daripada sikap membebaskan. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana: jika tujuan utama adalah membentuk tubuh pengikut yang monolitik, kebebasan penuh tidak dapat diberikan. Kebebasan tanpa batas akan memicu perpecahan. Maka, demi menjaga kesatuan, batas-batas harus digariskan — batas yang membatasi otonomi individu, menetapkan pagar moral, dan mempertahankan kontrol melalui penguatan aturan yang berulang.

Pemahaman Freud

Pemahaman bahwa sistem kepercayaan adalah “neurosis obsesional universal” adalah konsep yang dikenal luas dalam psikoanalisis, terutama dipopulerkan oleh Sigmund Freud.

Dalam esainya The Future of an Illusion (1927), Freud berpendapat bahwa agama — sebagai salah satu bentuk sistem kepercayaan — merupakan ilusi yang lahir dari dorongan psikologis manusia. Ia membandingkan ritual keagamaan dengan perilaku neurosis obsesional yang dialami individu.

Titik-titik Perbandingan Utama antara Agama dan Neurosis Obsesional:
  1. Pengendalian Dorongan Instingtif: Baik agama maupun neurosis melibatkan penekanan terhadap dorongan naluriah yang dianggap tidak pantas. Pada neurosis, individu terdorong melakukan ritual tertentu untuk menghindari kecemasan; pada agama, ritual dan aturan (puasa, pantangan, doa) berfungsi untuk mengendalikan nafsu dan agresi, serta menghindari hukuman ilahi.
  2. Rasa Bersalah dan Dosa: Penderita neurosis obsesional sering diliputi rasa bersalah, bahkan terhadap kesalahan yang hanya ada dalam pikirannya. Demikian pula, agama menekankan konsep dosa dan rasa bersalah, yang ditebus melalui ritual pengampunan, pengakuan dosa, atau penebusan.
  3. Pengulangan Ritual: Neurosis obsesional dicirikan oleh pengulangan kompulsif. Banyak praktik keagamaan juga bersifat repetitif — doa, ibadah, atau upacara yang dilakukan dengan cara tertentu demi perlindungan atau berkah.

Freud menyebut agama sebagai “neurosis kolektif” yang membantu manusia menenangkan rasa takut terhadap alam dan ketidakpastian hidup. Agama menyediakan rasa aman, makna, dan kerangka moral — sama seperti neurosis memberikan individu cara mengelola kecemasan, meskipun dengan biaya berupa pembatasan kebebasan naluriah.


Whether the Belief System Is a Universal Obsessional Neurosis?

The emergence of belief systems and the codification of their rules strongly suggests that they rest upon the suppression — even sidelining — of humanity’s natural, instinctive drives. This suppression is not a one-time act; it requires ongoing maintenance, like a control that can never be loosened.

Believers are often preoccupied with the concept of sin and the act of sinning. This cycle naturally gives rise to rites of repentance and the asking of forgiveness. In psychoanalytic terms, this can be seen as a universal obsessional neurosis — a collective behavioral pattern filled with prohibitions, compulsions, and ritualized responses to moral transgressions.

A prohibitive attitude here dominates more than a liberating one. Why? The answer is simple: if the primary aim is to form a monolithic body of followers, absolute freedom cannot be granted. Unlimited freedom would lead to fragmentation. Therefore, to maintain unity, boundaries must be drawn — boundaries that restrict individual autonomy, set moral fences, and preserve control through the reinforcement of repetitive rules.

Freud’s Understanding

The idea that belief systems constitute a “universal obsessional neurosis” is well-known in psychoanalysis, popularized by Sigmund Freud.

In his essay The Future of an Illusion (1927), Freud argued that religion — as one form of belief system — is an illusion born from human psychological drives. He compared religious rituals to the obsessive-compulsive behaviors experienced by individuals with neurosis.

Key Points of Comparison between Religion and Obsessional Neurosis:
  1. Control of Instinctive Drives: Both religion and neurosis involve the suppression of instinctual drives deemed inappropriate. In neurosis, the individual feels compelled to perform certain rituals to avoid anxiety; in religion, rituals and rules (fasting, prohibitions, prayers) serve to control base desires and aggression, and to avoid divine punishment.
  2. Guilt and Sin: Those with obsessional neurosis are often plagued with guilt, even for imagined wrongs. Likewise, religion emphasizes sin and guilt, which are addressed through rituals of forgiveness, confession, or atonement.
  3. Repetition of Rituals: Obsessional neurosis is characterized by compulsive repetition. Many religious practices are also repetitive — prayers, worship, or ceremonies performed in a specific manner for protection or blessing.

Freud referred to religion as a “collective neurosis” that helps humanity calm its fears of nature and life’s uncertainties. Religion provides safety, meaning, and a moral framework — much like neurosis offers individuals a way to manage anxiety, albeit at the cost of restricting instinctual freedom.