Tahun 1991. Aku masih mahasiswa teknik. Ruang kecil di pojok kampus menjadi pusat eksperimen kami: satu PC DOS berlayar hijau fosfor, satu kotak TNC (Terminal Node Controller), dan sebuah HT VHF yang berdiri tegak di meja. Dari sinilah aku mengenal "internet".
Internet waktu itu bukan browser, bukan web, bukan gambar. Hanya deretan teks. Untuk masuk ke dunia luar, kami menghubungkan PC ke TNC, lalu TNC ke HT. Sinyal digital diubah menjadi bunyi aneh: “krrr... beep... beep...” dan dipancarkan ke udara, menembus langit kota menuju node radio amatir, lalu akhirnya sampai ke gateway ITB yang menjadi host utama.
[PC Kampus] (MS-DOS + Procomm/Kermit) │ RS-232 (serial) ▼ [TNC - Terminal Node Controller] (AX.25 Packet Radio Modem, 1200 bps) │ Audio TX/RX ▼ [HT VHF/UHF] (Icom / Kenwood / Yaesu 5-25W) │ RF Link 144 MHz ▼ [Digipeater / ORARI Node] (Relay Packet Radio AX.25) │ ▼ [Gateway ITB] (SUN Workstation / Ultrix-BSD) │ ▼ [Internet Global] (E-mail, FTP, Telnet – super lambat)
Dengan Telnet, kami masuk ke mesin UNIX di ITB. Perintah diketik baris demi baris. Jawabannya muncul perlahan, kadang butuh lima detik hanya untuk melihat satu baris “login:”. Tapi bagi kami, itulah mukjizat. Kami sedang online, terhubung ke jaringan antar kampus, bahkan ke luar negeri, dengan kecepatan yang hari ini setara dengan siput digital: 1200 bps.
Tak ada grafis, tak ada suara. Hanya teks dan imajinasi. Namun setiap huruf yang muncul di layar DOS terasa sakral, seakan kami sedang membuka pintu menuju masa depan. Kami tahu, teknologi ini akan mengubah segalanya — meski saat itu kami hanya bisa duduk diam, mendengar bunyi TNC, dan berdoa semoga koneksi tidak terputus.
“Internet bagi kami di tahun 1991 bukan sekadar teknologi. Ia adalah doa digital pertama yang dipanjatkan lewat udara, menyambungkan kampus kecil ke dunia luas.”