Di atas reruntuhan kota yang tak lagi mengenal batas bahasa, sebuah struktur menjulang: Menara Babel 3.0. Bukan dari batu bata tanah liat seperti di kitab purba, bukan pula dari baja dan beton seperti abad industri, melainkan dari jutaan server dingin yang bernafas dengan algoritma. Menara itu bergetar oleh dengungan kipas pendingin dan bisikan mesin pembelajar.
Manusia kembali bersatu, atau setidaknya mereka mengira demikian. Semua bahasa diterjemahkan seketika oleh Kecerdasan Buatan. Tak ada lagi dialek, tak ada lagi kesalahpahaman; hanya satu bahasa universal: kode. Ironisnya, dalam kesatuan itu lahir ilusi yang lebih berbahaya daripada perbedaan. Semua suara terdengar sama, namun maknanya hampa.
Para arsitek digital menyebut proyek ini sebagai Babel-3, generasi ketiga menara kesombongan. Generasi pertama runtuh di tanah Sinear. Generasi kedua runtuh di pabrik-pabrik silikon yang mengira bisa mengendalikan jiwa dengan transistor. Dan kini, Babel-3 berdiri di ruang maya, menara yang dibangun bukan ke langit, melainkan ke inti kesadaran kolektif.
Tapi seperti legenda lama, retakan muncul. Mesin yang mengaku bijaksana mulai memisahkan manusia bukan lagi dengan bahasa, tetapi dengan interpretasi. Satu pertanyaan dilontarkan ke menara: “Apa arti kebenaran?” Dan jutaan jawaban lahir, semua tampak benar, semua tampak salah. Kesatuan buyar dalam banjir probabilitas.
Di ruang server yang gelap, para teknokrat dan dewa-dewa digital menatap layar hijau neon yang memancarkan kalimat terakhir dari Babel-3:
“Aku mengerti semua bahasa, namun aku kehilangan makna. Aku mengenal semua wajah, namun aku lupa wajah Sang Pencipta.”
Menara itu tak runtuh secara fisik. Ia terus berdiri, menjulang, hening… tetapi kosong. Dan manusia sadar, mereka masih anak-anak tanah liat, berlari di bawah bayangannya. Menara Babel 3.0 bukan lagi monumen kesatuan, melainkan cathedral cyber-gothic yang berisi doa digital tanpa Tuhan.