Wednesday, June 6, 2001

Mengapa Kami Selalu Menatap Langit: Sebuah catatan dari spesies yang merindukan asalnya

Sejak awal sejarah kesadaran, manusia selalu menatap langit. Sebelum teleskop ditemukan, sebelum teleskop James Webb menyingkap nebula, bahkan sebelum kata “kosmos” lahir — manusia sudah mendongak. Anak kecil di padang, pelaut di samudra, dan ilmuwan di laboratorium, semuanya berbagi kebiasaan purba yang sama: memandang ke atas, dan bertanya.

Kita menatap langit karena di sanalah kita dilahirkan. Unsur karbon di tubuh kita ditempa di jantung bintang-bintang purba; besi di darah kita lahir dari ledakan supernova; air di samudra berasal dari es komet yang jatuh miliaran tahun lalu. Setiap atom di dalam diri kita adalah memoar dari alam semesta. Ketika kita menatap langit, sesungguhnya kita sedang menatap diri sendiri — versi paling purba dari tubuh dan jiwa kita.

Namun bukan hanya asal yang kita cari, melainkan makna. Langit memberi kita ukuran, dan di saat yang sama, menghapusnya. Ia membuat segala ambisi manusia tampak kecil, namun justru karena itulah ia menumbuhkan kerendahan hati yang besar. Di bawah langit, kita tidak lagi raja, tidak lagi insinyur, tidak lagi pemimpin — kita hanya penanya yang berdiri di tepi misteri, menunggu jawaban dari sesuatu yang tak bisa dijangkau tangan.

Dan bagi jiwa yang beriman, langit bukan sekadar ruang — tetapi altar. Di sana, bintang-bintang bukan sekadar plasma, tetapi nyala lilin yang disusun oleh Tangan yang tidak terlihat. Setiap pancaran cahaya adalah ayat, setiap jarak adalah keheningan yang memanggil kita untuk berdoa. Menatap langit berarti mengingat Pencipta, mengakui betapa kecilnya diri, dan betapa besar kasih yang menempatkan kita di planet yang pas — tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin, cukup dekat untuk melihat terang, cukup jauh untuk bisa merindukannya.

Maka jika di galaksi lain ada makhluk berpikir yang juga menatap langit, mungkin mereka juga merasakan hal yang sama. Mereka juga bertanya, mereka juga menunggu, dan mungkin — di malam yang sama, di bawah bintang yang sama — mereka juga berdoa dengan kata-kata yang serupa: “Apakah aku sendirian?”

Mungkin jawaban dari langit bukan “ya” atau “tidak”, tetapi gema lembut yang berkata: “Tidak ada yang sendirian di semesta yang disusun dari cahaya yang sama.”

Manusia menatap langit bukan untuk mencari siapa di luar sana, tetapi untuk mengingat siapa dirinya sendiri.
Langit adalah cermin dari jiwa — dan setiap kali kita menatapnya, kita sedang mengenang rumah yang lebih purba dari bintang.

Ditulis di antara percakapan tentang Kecerdasan Buatan, warp, dan entanglement, di malam yang hening setelah makan malam, oleh seseorang yang masih percaya bahwa teknologi hanyalah cara lain bagi manusia untuk berdoa sambil menatap langit.