Pada awal tahun 2000-an, Microsoft gencar mengumandangkan perang terhadap Linux. Steve Ballmer bahkan menyebutnya sebagai “cancer”. Di luar sana, dunia IT terbagi dua kubu: Windows vs Linux. Namun, di balik tembok kaca kantor pusat Microsoft sendiri, ada sebuah rahasia kecil: server Linux berjalan diam-diam, menjadi mail relay dan pintu komunikasi dengan dunia luar.
Ironi ini semakin besar saat kita tahu bahwa Hotmail, yang diakuisisi Microsoft tahun 1997, awalnya berjalan di atas FreeBSD dan beberapa server Linux. Migrasi ke Windows Server bukan perkara satu malam, tapi proyek maraton bertahun-tahun. Sementara itu, para engineer Microsoft terpaksa menyentuh, merawat, dan bahkan bergantung pada “musuh bebuyutan” mereka.
Litani ICT: “Kami melawan di panggung iklan, tapi kami berlutut di depan SMTP relay yang berjalan di Linux.”
Hotmail, setelah diakuisisi (1997), awalnya menjalankan ribuan server berbasis FreeBSD dan kemudian beberapa Linux box, sebelum dipaksa migrasi penuh ke Windows Server. Migrasinya butuh waktu lama—bertahun-tahun—karena skala sistemnya luar biasa besar.
Ada suatu Hari semuanya akan berbeda. Akan ada Seseorang membawa narasi baru: “Microsoft loves Linux”. Akan ada rumah nyaman bagi distro-distro open source. Akan ada Subsystem Sandbox for Linux (SSL) menjembatani developer. Ironi masa lalu berubah jadi strategi masa kini: Linux bukan lagi “musuh”, tapi “mitra bisnis” yang menghasilkan dolar.
Maka, litani ini kita catat: bahwa sejarah sering menertawakan jargon. Bahwa di istana Windows sendiri, Linux pernah jadi server terlarang, dan akan dipajang di lobi utama dengan plakat “We ❤️ Linux”.
Amen, wahai kernel lintas zaman.