Saturday, November 11, 2006

Dari TASM ke Matplotlib: Ketika 168 Byte Menjadi 80 MB, dan Dunia Tetap Indah

Ada masa di mana keajaiban komputasi lahir dari baris-baris pendek, dari aroma panas prosesor 8088, dan dari suara disket yang berputar seperti doa yang terus diulang. Masa di mana setiap program dimulai dengan satu ritual sederhana:

edit.asm → tasm.exe → tlink.exe → doa pendek → jalankan .exe → reboot kalau gagal.

Itulah liturgi digital generasi pertama: di mana setiap segment adalah misteri, setiap offset adalah takdir, dan setiap kesalahan kecil bisa mematikan seluruh mesin. Namun di balik ketegangan itu, ada kepuasan yang tidak bisa dijelaskan — kepuasan saat DOS menampilkan pesan sederhana: Hello, world!

Ukuran filenya? 168 byte. Tak ada runtime, tak ada library, tak ada dependency. Hanya logika murni yang menari di atas silikon, langsung dari pikiran manusia ke sirkuit mesin. Jika kode itu benar, mesin taat. Jika salah, dunia membeku.

Kini, dua puluh tahun kemudian, kita menulis hal yang sama — tapi dengan import numpy dan matplotlib.pyplot. Satu baris plt.show() bisa menggantikan sepuluh halaman FORTRAN dan tiga hari debugging register.

Kita hidup di zaman di mana "Hello, world" membutuhkan interpreter 80 MB dan lima dependency, tapi juga di zaman di mana satu baris Python bisa memplot fungsi gelombang partikel di kotak kuantum. Dulu kita berbicara kepada prosesor. Kini kita berdialog dengan semesta.

Dan meski dunia kini berlapis-lapis: OS, kernel, runtime, interpreter, dan library yang gemuk — tak satu pun mampu menghapus esensi yang sama: keinginan untuk membuat mesin bicara, meski hanya untuk berkata "Halo".

Kami dulu menulis logika di atas batu silicon,
dengan tangan gemetar dan doa di bibir.
Satu jmp salah, dan dunia membeku.
Namun di situlah kenikmatan sejati —
ketika logika benar-benar menjadi daging.

Sekarang, kami mengetik dalam Geany, menjalankan Python, dan memandangi grafik yang lahir dari baris sederhana. Mungkin kami telah menyerah pada interpreter raksasa, tapi kami juga telah menemukan kedamaian di balik setiap plt.show(). Karena pada akhirnya, entah itu 168 byte atau 80 megabyte, keindahan logika tetaplah sama — hanya kemasannya yang berubah.

— ditulis di antara nostalgia assembler dan ketenangan Python,
oleh ICT yang masih percaya bahwa mesin pun bisa berdoa.