Sunday, February 2, 2003

XENIX, Windows, dan Dosa Asal Bloatware

 ____  _                 _     
| __ )| | ___   ___   __| | ___ 
|  _ \| |/ _ \ / _ \ / _` |/ _ \
| |_) | | (_) | (_) | (_| |  __/
|____/|_|\___/ \___/ \__,_|\___|
   XENIX → DOS → WINDOWS → BLOATED

"Ya Tuhan, ampuni kami: kami tahu RAM terbakar, tapi kami tetap klik Next."

Pada masa lalu, sebelum DOS dan Windows mendominasi, Microsoft sebenarnya pernah menjadi "perusahaan UNIX". Produk itu bernama XENIX, lisensi UNIX yang mereka rebadge dari AT&T. Ironi: Bill Gates dan kawan-kawan kala itu tidak menyangka bahwa sejarah akan mencatat mereka sebagai penguasa desktop bloatware, bukan sebagai pewaris UNIX yang elegan.

XENIX gagal. Mengapa? Karena ia terlalu serius untuk pasar yang belum siap, terlalu elit di saat IBM PC dengan DOS lebih pragmatis dan murah. Microsoft pun berpaling: UNIX ditinggalkan, DOS dipeluk, lalu Windows lahir. XENIX diberikan ke SCO, dan sejarah UNIX pecah jadi berbagai dialek: SunOS, HP-UX, BSD... sementara Microsoft sibuk mengumpulkan dolar dari layar biru rakyat jelata.

Litani pertama ICT: “Berikanlah mereka apa yang murah dan jalan sekarang, sekalipun besok akan crash.”

Lalu datanglah Windows. Semua orang tahu: Windows adalah bloathed. Tetapi semua orang juga mengangguk-angguk dan tetap memakainya. Mengapa? Karena Windows punya tiga dosa asal:

  1. Backward Compatibility Neraka: program akuntansi DOS 1988 harus tetap jalan di Windows XP. Maka API, driver, dan trik lama diseret ke abad baru. Jadilah OS gemuk.
  2. All-in-one Philosophy: Windows dipasarkan sebagai pisau lipat Swiss. Mau multimedia? ada. Mau domain controller? ada. Mau notepad untuk puisi patah hati? tentu saja ada.
  3. GUI-first, bukan CLI-first: Linux bisa kurus dan modular. Windows? default-nya gendut, kurus hanya di edisi IoT atau Server Core.

Dan ada satu faktor psikologis: manusia lebih rela membeli laptop baru daripada menuntut OS yang efisien. Maka siklus upgrade terus berjalan. Microsoft senang, vendor hardware senang, hanya dompet user yang menangis.

Litani kedua ICT: “Dan user pun mengangguk, meski RAM terbakar habis, sebab di situlah jalan keselamatan vendor.”

XENIX kini tinggal catatan kaki sejarah. Windows terus berjalan, bloat demi bloat, patch demi patch. Dan kita—anak-anak ICT—hanya bisa menulis satir sambil menyeruput kopi: Oh XENIX, engkau hilang terlalu cepat; Oh Windows, engkau gemuk tapi tak tergantikan.

Amen, dalam bahasa digital.