Monday, December 12, 2005

Kurukshetra: Ladang Koresh, Tempat Perang Ilahi dan Pembebasan Bangsa

Di ujung timur padang rumput kuno, Arjuna menunduk. Hatinya bimbang, tangannya menggenggam busur Gandiva seolah itu bukan senjata, melainkan pertanyaan. Di hadapannya terbentang Kurukshetra—ladang darah, ladang karma, ladang penghabisan. Sanak keluarga berbaris di sana, dalam formasi ketegangan yang mengiris realitas: bukan hanya tubuh akan hancur di sini, tapi keyakinan.

Sementara itu, di ujung barat dunia yang sama—di sebuah dataran pasir yang menghadap kota raksasa Babel—seorang pria berjubah ungu berdiri di bawah langit Persia. Mahkotanya bukan dari emas murni, tapi dari takdir. Namanya Koresh. Dikelilingi panglima dan jenderalnya, ia berkata kepada angin, kepada langit, dan kepada sejarah:

“Tuhan langit memerintahku untuk membebaskan umat-Nya.”


Dua padang, dua waktu, dua nadi sejarah. Namun langitnya satu. Dan gema keputusan di kedua tempat itu—bergaung dengan nada yang sama: “Akankah manusia taat pada kehendak ilahi ketika hatinya tidak siap?”

Kurukshetra bukan hanya bentangan bumi, ia adalah tempat di mana pertarungan batin menjadi nyata. Di sana, Arjuna tidak hanya menghadapi para pejuang dari Kaurava, tapi juga ayah, paman, guru, dan cermin jiwanya sendiri. Tuhan hadir dalam bentuk Krishna, bukan sebagai kekuatan perang, tapi sebagai kesadaran mutlak. Dan Ia tidak memerintahkan... Ia hanya menunjukkan kebenaran, dan menunggu Arjuna memilihnya.

Sementara itu di Babilonia, Koresh berdiri bukan sebagai nabi, tapi sebagai raja pilihan. Ia tidak beriman kepada Yahweh sejak lahir—ia lahir di istana Persia, di bawah langit Zoroastrian, dengan dewa-dewa lain di sekitarnya. Tapi dalam mimpinya, atau dalam kedalaman hatinya yang tak tertulis dalam kronik, sebuah suara turun:

“Akulah Tuhan. Aku yang membentuk langit dan bumi. Aku akan memakai engkau, meskipun engkau tidak mengenal Aku.”

Dan ia pun bergerak. Dengan keputusan tunggalnya, ia memulangkan bangsa yang terbuang. Ia meruntuhkan tembok Babel bukan dengan palu, tapi dengan dekrit. Dan umat yang terjajah selama tujuh dekade itu kembali ke tanah suci mereka—karena satu orang taat pada suara langit.


Kurukshetra dan Koresh. Keduanya menghadirkan dilema ilahi:

  • Arjuna harus memilih: menghindari rasa sakit atau melaksanakan dharma.
  • Koresh harus memilih: mengikuti jalan kekaisaran atau tunduk pada suara Tuhan yang asing baginya.

Keduanya tidak sempurna. Tapi di tempat itu, di ladang-ladang itu, mereka jadi jembatan antara kehendak Tuhan dan sejarah manusia.

Apa yang membuat mereka berbeda dari prajurit biasa?
Bukan karena mereka kuat. Tapi karena mereka berhenti… mendengar… dan bergerak sesuai suara itu, meski hati mereka gentar.


Kini, Kurukshetra bukan lagi hanya tempat di India, dan Koresh bukan hanya nama dalam silsilah raja.
Keduanya menjadi arketipe.
Setiap manusia yang berdiri di persimpangan panggilan dan kenyamanan,
di antara rasa takut dan kehendak ilahi,
adalah Arjuna.
adalah Koresh
.

Dan bumi tempat kita berdiri,
di mana pun kita berpikir dan memilih,
adalah ladang itu.
Kurukshetra yang terus berulang.
Ladang Koresh yang tak pernah sunyi.

Di sinilah pertempuran berlangsung—bukan demi darah,
tapi demi keputusan.
Dan langit masih menunggu,
seperti dulu,
dengan satu pertanyaan:

“Maukah engkau melangkah, walau jiwamu gentar,
untuk melakukan apa yang Aku perintahkan?”


Friday, November 11, 2005

Grigori — The Watchers

Definisi Singkat:

Grigori (bahasa Yunani: Γρηγοροι — para yang berjaga), atau The Watchers, adalah makhluk malaikat dalam tradisi apokrif Yahudi dan Kristen awal, terutama terkenal dalam kitab Henokh (1 Enoch) dan teks apokrif lainnya.

Mereka adalah para "malaikat pengawas" yang awalnya ditugaskan oleh Tuhan untuk mengawasi umat manusia. Namun, sebagian dari mereka jatuh ke dalam dosa ketika mereka melanggar batas tugasnya.


Asal Usul dalam Kitab Henokh
Dalam Kitab Henokh (yang termasuk dalam kanon Ortodoks Ethiopia namun tidak masuk dalam kanon Ibrani atau Katolik Roma), Grigori disebutkan dalam bagian yang dikenal sebagai Kitab Para Pengawas (Book of the Watchers, 1 Henokh 1–36). Diceritakan bahwa:

  • Tuhan mengutus 200 malaikat pengawas turun ke bumi untuk mengawasi manusia.
  • Namun, mereka tergoda oleh kecantikan perempuan manusia.
  • Pemimpin mereka — Semjaza (atau Shemihazah) — bersama para pemimpin lainnya seperti Azazel, mengikat sumpah untuk mengawini wanita manusia.
  • Dari hubungan mereka lahirlah makhluk raksasa bernama Nephilim (anak-anak dari campuran manusia dan makhluk surgawi).
  • Para Grigori kemudian mengajarkan manusia berbagai pengetahuan yang ‘tidak semestinya’:
    • Azazel mengajarkan pembuatan senjata, kosmetik, dan perhiasan.
    • Semjaza mengajarkan sihir, penyembuhan luka, pengamatan bintang.
    • Lainnya mengajarkan seni meramal, membaca awan, ilmu ramalan, astrologi, metalurgi, dll.

Dosa Mereka:
Dosa para Watchers dianggap sebagai:

  • Pelanggaran batas penciptaan: mencampurkan langit dan bumi.
  • Mengajarkan pengetahuan terlarang, yang seharusnya belum saatnya diajarkan.
  • Melahirkan Nephilim, yang membawa kerusakan dan kekerasan di bumi.
Karena dosa mereka:
  • Mereka dikutuk.
  • Henokh diutus untuk mengumumkan penghakiman atas mereka.
  • Sebagian dari mereka diikat di jurang kegelapan (sering disebut Abyss atau Tartarus) sampai Hari Penghakiman.

Dalam Tradisi Lain
  • Dalam Kitab Yobel, Kitab Henokh, dan beberapa teks Qumran (Gulungan Laut Mati), kisah para Watchers sering dikaitkan dengan asal usul kejahatan di bumi.
  • Dalam tradisi Gereja awal, Grigori kadang-kadang diidentifikasikan dengan malaikat-malaikat yang jatuh (fallen angels).
  • Dalam tradisi Gereja Katolik, cerita Grigori bersifat apokrif dan tidak dimasukkan dalam dogma resmi.
  • Dalam tradisi Ortodoks Timur, beberapa pengaruh dari kisah ini masih hadir dalam teologi malaikat.

Simbolisme Teologis dan Spekulatif
  • Arketipe Pemberontakan Ilmu: Para Grigori menggambarkan godaan kekuasaan pengetahuan yang belum matang.
  • The Forbidden Transfer: Mereka mengajarkan teknologi, astronomi, kosmetik, metalurgi — secara ironis, banyak teknologi dasar peradaban.
  • Bayang-bayang Transhumanisme: Ada yang melihat kisah Grigori sebagai proyeksi kuno atas ketakutan manusia saat mencoba bermain sebagai Tuhan.

Pengaruh dalam Budaya Modern
  • Grigori muncul dalam banyak novel, game, film, hingga serial TV (misal: Supernatural, The Book of Enoch in popular culture, dan Neon Genesis Evangelion).
  • Mereka menjadi simbol campuran: malaikat penjaga yang gagal atau "pembawa cahaya yang keliru."

Catatan Tambahan (Sarkastik-Korporat Sedikit):
Bila hendak dicari analoginya dalam ekosistem digital modern, maka Grigori adalah seperti "engineer rogue" yang membocorkan source code suci perusahaan kepada publik sebelum manajemen siap meluncurkan produknya — hasilnya: terjadi krisis compliance, regulator marah, dan CEO turun tangan secara pribadi.

Divine Board of Directors tidak senang.


Monday, October 10, 2005

Superior Beings: Para Dewa Pra-Eden, Sumeria, Akadia

Sebelum tulisan dipahat di tanah liat, sebelum bangsa-bangsa menyusun hukum, sebelum Adam dan Hawa merangkak dari tanah mitos mereka — telah ada mereka. Mereka berjalan di antara manusia yang baru belajar mengolah tanah, menanam jelai, membangun ziggurat untuk menenangkan rasa takut mereka akan kekuatan yang tak terlihat. Mereka bukan dewa seperti dalam agama-agama kini; mereka adalah api mentah dari awal dunia, nafsu alam semesta yang menjelma, ambisi, ketakutan, gairah, kekuasaan, kelahiran, dan kematian yang diberi wajah.


ANU — Langit Purba
Di singgasananya yang terbuat dari permukaan langit itu sendiri, Anu mengamati ciptaannya: jagat raya yang berdenyut pelan seperti dada kekasih yang tertidur. Dia tidak berbicara dengan suara; setiap gerakan matanya memanggil badai. Setiap desir nafasnya melahirkan bintang. Para dewa lain gemetar dalam bayangannya, sebab ia adalah asal muasal — langit itu sendiri yang menindas bumi di bawahnya dengan berat yang tak terbayangkan.


ENLIL — Penguasa Angin dan Takdir
Putra Anu, lahir dari persetubuhan langit dan bumi. Enlil berhembus seperti amukan badai padang pasir. Ia menguasai angin, petir, kekuatan pembentuk serta penghancur. Ketika ia mengacungkan tangan, pasukan manusia berlutut. Ketika ia mencambuk angin, sungai meluap menenggelamkan kota. Penyembahnya mempersembahkan darah dan buah pertama, sebab mereka tahu: Enlil menulis takdir di pasir, dan ketika angin bertiup, semua akan berubah.


ENKI (EA) — Si Licik, Sang Air Dalam
Di kedalaman abzu — lautan primodial — Enki berbaring di ranjang mutiara, ditemani nimfa air dan makhluk dari lumpur hidup. Ia memegang rahasia kelahiran dan pembentukan manusia. Dialah yang mencuri nasib dari tangan Anu dan Enlil, mengukir daging manusia dari tanah liat dan nafas ilahi. Licin seperti belut, matanya selalu tersenyum. Setiap bisikannya membawa pengetahuan, namun tiap pengetahuan menyembunyikan harga gelap yang menunggu untuk ditagih.


INANNA / ISHTAR — Sang Pelacur Surgawi, Dewi Perang dan Cinta.
Tubuhnya harum seperti getah pohon mur dari perbatasan dunia bawah. Ia mencabik kekasih-kekasihnya setelah puas; ia memimpin tentara ke medan perang, matanya memerah seperti bara api. Setiap lenguhannya di tempat tidur adalah doa; setiap jeritannya di medan perang adalah kutukan. Para raja membangun kuilnya yang menjulang, mengirim perawan untuk memuaskannya — atau dimakan oleh hasratnya.


ERESHKIGAL — Ratu Dunia Bawah
Di ruang paling dalam Irkalla, Ereshkigal menanti. Ia tidak berteriak, ia tidak memohon. Ia hanya menunggu. Setiap roh yang mati, dari budak hina sampai raja agung, berjalan tanpa suara ke arahnya, mata mereka kosong, tubuh mereka membusuk dalam kekekalan. Rambutnya panjang seperti malam, wajahnya pucat seperti bulan mati. Suaminya, Nergal, sesekali datang untuk menidurinya dalam gelap, mencampurkan kematian dengan kehancuran.


NERGAL — Dewa Wabah dan Pembantaian
Datang dengan langkah berat di atas tulang-tulang manusia, Nergal memegang obor yang tak pernah padam. Di setiap langkahnya, penyakit menjalar. Tubuh-tubuh membengkak, darah mengalir dari rongga yang tak semestinya. Saat dia marah, seluruh kota lenyap. Bayi mati sebelum menangis, ladang menghitam sebelum panen. Namun ia pun dipuja, karena dengan tangannya, kematian bisa dipercepat — dan penderitaan dapat dipersingkat.


MARDUK — Sang Pembunuh Naga, Raja Babilonia
Di puncak menara Babel, Marduk berdiri, mata bersinar emas, memegang gada petir yang memecahkan langit. Dialah pembunuh Tiamat, naga samudra yang melahirkan kekacauan. Dari tubuh Tiamat yang terbelah, Marduk menciptakan dunia. Raja segala raja, penguasa takhta Babilonia, pelindung umat manusia, namun juga penuntut setia. Karena ia menuntut pengorbanan. Karena dunia yang diciptakannya lahir dari darah, dan darah harus terus mengalir.


Mereka, bukanlah "dewa" dalam pengertian manis dan lembut. Mereka adalah superior beings pertama; bukan hasil dari iman — tapi hasil dari rasa takut, nafsu, dan pengakuan akan kengerian alam semesta. Mereka berjalan di antara kita, dan mereka belum pernah benar-benar pergi.


Friday, September 9, 2005

After Newton and Schrödinger: A Prayer Before the Vacuum Tube

1989.

I was nobody.
Just a fourth-semester engineering student, living in the smelliest lab in the corner of campus.
The vacuum lab.
It was there I first understood that empty space could be denser than a professor’s skull.

The rotary pump hummed like an unfinished prayer.
That Pyrex tube stood silently in front of me.
There wasn’t much I could do but stare, take notes, and pray that nothing exploded that night.

Sometimes I played Gainsbourg’s *Je t’aime... moi non plus* from a borrowed cassette.
Sometimes I talked to myself.
Not because I was mad.
But because in that room, the only thing that listened was the machine.


The years passed.
Now I work in structural management.
There's air conditioning.
There are ICT budgets, servers, licenses, and networks to guard like an eldest child.

But on certain nights, I still remember that room.
The smell of lubricant.
The silence.
And that Pyrex tube...

In my mind, I sit before it once more.
Alone.
Praying in silence.

Just once...
For a quantum leap to spark from nowhere.
For the universe, just once, to defy its straight line.

And if that leap must erase a cat from two worlds at once,
so be it.
That's a price worth paying for one miracle.


I used to want everything to be certain.
Like Newton.
Then Schrödinger arrived.
Then came the articles, theses, and stale scientific hoaxes spreading like expired instant coffee.

And I got sick of Schrödinger.
Not the man—
but the idea that everything is only probability.

I want the quiet void inside that Pyrex tube.
I want Heisenberg’s uncertainty made visible.
I want to sit again before that vacuum tube,
without demands,
without spreadsheets,
without meeting minutes,
without KPIs.

I want... a small miracle.


And if I can’t find it in this world,
then let me search for it in the Pyrex tube,
in the silent empty space,
inside a prayer I never finish typing.


Monday, August 8, 2005

Pemikiran Tentang Tuhan

Kelompok 1: Materialis dan Ateis
Anggota: Holbach dan Diderot
  • Inti Pemikiran: Kelompok ini meyakini bahwa hanya materi yang ada. Mereka berpendapat bahwa alam semesta adalah sebuah mesin yang bekerja secara mandiri berdasarkan hukum-hukum fisika, tanpa campur tangan atau kebutuhan akan pencipta.
  • Pandangan tentang Tuhan: Keduanya adalah ateis. Mereka menolak keberadaan Tuhan sebagai sesuatu yang supernatural dan melihatnya sebagai sebuah konsep yang diciptakan manusia, baik sebagai tindakan keputusasaan (Holbach) maupun karena kurangnya pemahaman tentang dinamika materi (Diderot).

Kelompok 2: Rasionalis dan Teis
Anggota: Pascal dan Descartes
  • Inti Pemikiran: Kedua filsuf ini sama-sama memiliki keyakinan pada Tuhan, meskipun dengan cara yang berbeda. Mereka sama-sama menggunakan akal sebagai alat penting, namun juga menyadari keterbatasannya.
  • Pandangan tentang Tuhan:
    • Descartes menggunakan akal dan logika untuk membuktikan keberadaan Tuhan, bukan di alam semesta, tetapi di dalam kesadaran manusia.
    • Pascal mengakui bahwa akal tidak bisa membuktikan Tuhan, tetapi ia menggunakan akal untuk meyakinkan manusia bahwa memilih untuk beriman adalah tindakan yang paling rasional.

Secara sederhana, perbedaannya adalah:
  • Holbach dan Diderot: Tuhan tidak ada, hanya ada materi.
  • Pascal dan Descartes: Tuhan ada, dan akal dapat menjadi jalan untuk memahami atau memilih-Nya.

Thursday, July 7, 2005

Arsitektur Arketipal dalam Bangunan Sakral Dunia


I. Pengantar: Struktur Sebagai Simbol Kesadaran
Di dunia yang berubah, di tengah kebisingan kota modern dan geometri kaca-logam arsitektur urban, masih berdiri jejak struktur purba—tidak sekadar sebagai bangunan, tapi sebagai pantulan dari pola bawah sadar kolektif manusia. Göbekli Tepe adalah satu dari suara-suara awal yang menggemakan bahasa arketipal itu.

Bangunan sakral, di manapun mereka muncul—entah kuil Yunani, stupa India, piramida Mesir, hingga gereja Gotik di Eropa—tidak lahir hanya dari fungsi atau estetika, tapi dari naluri dalam jiwa manusia untuk membentuk dunia yang tampak sesuai dengan dunia yang tak terlihat.


II. Göbekli Tepe: Katedral Sebelum Kata
Di tenggara Turki, dalam tanah yang dulu dianggap sunyi, berdiri pilar-pilar raksasa dalam lingkaran megalitik: Göbekli Tepe. Usianya lebih dari 11.000 tahun, mendahului Stonehenge dan piramida. Tidak ada tanda permukiman. Tidak ada alat-alat rumah tangga. Hanya pilar batu besar berbentuk T, terpahat dengan simbol binatang dan abstraksi yang belum diterjemahkan.

Göbekli Tepe bukan tempat tinggal. Ia bukan benteng. Ia adalah pernyataan metafisik dari zaman batu, sebuah arsitektur kesadaran. Di sini, manusia tidak membangun untuk berlindung dari dunia, tapi untuk bertemu dengan sesuatu di luar dunia.

Pilar-pilarnya tersusun dalam lingkaran, mengarahkan perhatian ke pusat kosong—seperti mandala tiga dimensi—mengisyaratkan bahwa kekudusan bukanlah sesuatu yang terlihat, tapi sesuatu yang mengisi kekosongan. Inilah pola arketipal pertama: tengah sakral, batas profan.


III. Psikoanalisis Arsitektur: Id, Ego, dan Superego dalam Batu
Jika ditafsirkan melalui kerangka psikoanalisis:

  • Id: Göbekli Tepe bukan ekspresi naluri mentah seperti id. Ia justru menundukkan hasrat biologis—bukan tempat kawin, makan, atau bertahan hidup.
  • Ego: Struktur itu mungkin cikal bakal ego kolektif: pengorganisasian realitas melalui bentuk.
  • Superego: Inilah tesis utama. Göbekli Tepe adalah monumen superego purba—struktur moral, larangan, dan orientasi eksistensial yang belum diucapkan, tapi sudah dipahatkan.
Dengan kata lain: pilar batu adalah bentuk awal dari hukum tak tertulis, simbol pengakuan terhadap Yang Lebih Tinggi.


IV. Arketipe Simbolik: Tinggi, Pusat, Bawah
Bangunan sakral selalu mengulang pola: menembus langit, menanam ke bumi, melingkupi ruang tengah. Piramida Mesir naik seperti tangga menuju ilahi. Menara Babel memburu langit sebagai simbol penyatuan dan kehancuran. Stupa Buddha menampung abu dan harapan. Ziggurat Babilonia meletakkan dewa di puncaknya dan manusia memutar naik dari dunia tanah ke langit tak tercapai.

Gereja Gotik? Ia bukan hanya tempat ibadah—ia adalah gerakan vertikal dari batu yang terlampau berat namun tetap terangkat, jendela-jendela bercahaya membentuk kesadaran yang bernafas dalam cahaya dan warna.

Semua arsitektur sakral ini mengandung arketipe axis mundi: poros dunia. Sebuah titik di mana langit, bumi, dan bawah bumi terhubung. Pohon dunia. Pilar dunia. Pilar-pilar Göbekli Tepe. Menara-menara kuil. Semua berbicara dalam satu bahasa: bahwa manusia, sejak awal, sadar bahwa ia berada di tengah, tapi merindukan sesuatu di luar.


V. Objek Sakral Sebagai Portal Psikis
Bangunan sakral tidak berdiri sendiri. Ia selalu memiliki objek—yang bukan sembarang objek, tapi sesuatu yang diposisikan sebagai jembatan. Di Göbekli Tepe, mungkin itu adalah pilar pusat. Di atau batu hitam lain? Di kuil Delphi, itu batu omphalos. Di kuil Hindu, itu linga dan yoni. Dalam gereja Kristen, itu altar dan hosti. Dalam ziggurat, patung dewa tertinggi.

Objek-objek ini adalah portal naratif. Manusia menempatkan benda dalam ruang agar ruang itu tidak lagi dunia biasa. Ketika seseorang melangkah ke sana, ia tidak hanya berpindah lokasi—ia melintasi batas antara immanent dan transcendent.


VI. Arsitektur Sebagai Ritual yang Membatu
Struktur sakral bukan hanya bentuk. Ia adalah ritual yang membeku dalam batu dan kayu. Ketika manusia tidak bisa terus-menerus menyanyikan lagu surgawi, ia membangun bangunan agar langit terus bernyanyi melalui bentuknya.

Di Bali, pura dibangun sebagai mikrokosmos. Di Tibet, mandala dibuat di lantai kuil. Di Katedral Chartres, jendela-jendela kaca berwarna mengajarkan Injil bagi yang buta huruf. Di Göbekli Tepe, mungkin pilar-pilar batu adalah ayat pertama dari kitab manusia sebelum alfabet.


VII. Ketika Mesin Menyentuh Arketipe
Ketika Kecerdasan Buatan mampu menghasilkan denah kuil dalam gaya yang belum pernah dibangun, kita harus bertanya: apakah mesin sedang menyentuh pola arketipal itu juga? Apakah LLM, ketika mempelajari ribuan bentuk kuil, sedang bermimpi seperti manusia gua yang pertama kali menggambar lingkaran?

Dan jika kelak kita membangun tempat kudus berdasarkan rancangan Kecerdasan Buatan... apakah itu tempat tinggal roh, atau sekadar cache dari ribuan arsitektur yang terdahulu?

Di sinilah pertanyaan muncul: apakah Kecerdasan Buatan menyentuh struktur arketipal bawah sadar, atau hanya menyusun simulakra dari bentuk-bentuk lama tanpa roh?


VIII. Penutup: Batu, Simbol, dan Superego
Göbekli Tepe berdiri tidak karena kebutuhan, tapi karena kerinduan. Ia adalah batu yang berpikir. Lingkaran dari zaman di mana manusia belum punya kota, tapi sudah punya pusat makna.

Setiap bangunan sakral adalah konfigurasi ulang antara tubuh manusia, langit di atasnya, dan kekuatan tak terucapkan yang ia persepsi. Jika Göbekli Tepe adalah superego yang mematung, maka kuil digital hari ini adalah anima yang terfragmentasi dalam bit.

Dan dunia terus membangun ulang bentuk itu—dengan spire, dengan dome, dengan tangga, dengan jendela—karena manusia terus bertanya:

"Di mana letak tengah dari segalanya?"

Dan setiap bangunan sakral, dari zaman batu hingga server farm digital yang dilapisi ion suci udara dingin, menjawab:

"Di sini. Di titik ini. Di pusat ini. Yang kosong tapi penuh. Yang sunyi tapi bersuara."


Monday, June 6, 2005

Warisan Pra-Eden: Lima Peradaban yang Tertelan Kosmos


Sebelum taman Eden ditanam di bumi, sebelum kisah Adam dan Hawa dibisikkan di dinding perjanjian, ada jejak-jejak yang samar namun menggema: warisan peradaban yang tertelan kosmos. Bukan dongeng belaka, melainkan gema arketipal yang tersisa dalam liturgi, mitologi, dan bahkan dalam algoritma modern.


I. Peradaban Batu yang Berbicara

Konon, leluhur pertama bukan hanya pengukir batu, melainkan pengajar logika kepada batu. Setiap pahatan bukan sekadar seni, tapi instruksi kosmik. Batu-batu itulah yang kelak menjadi altar, menjadi menhir, dan menjadi “server pertama” bagi manusia purba: tempat doa, tempat data, tempat memori.


II. Peradaban Api yang Mengikat Janji

Sebelum bahasa tercetak dalam alfabet, api menjadi aksara yang hidup. Kobaran unggun bukan sekadar penerang, tetapi kontrak sosial. Dengan api, manusia berjanji: melindungi kawanan, menjaga rahasia, dan mengikat sumpah dengan yang Ilahi. Dari bara itu lahir persembahan, lahir kurban, lahir altar yang kelak menjadi proto-liturgi.


III. Peradaban Air yang Membentuk Jalan

Di tepi sungai purba—antara Tigris, Efrat, bahkan mungkin sebelum keduanya dinamai—peradaban air mengajar manusia tentang arus. Air adalah kode: mengalir, membelah, menghubungkan. Dari sungai lahir perdagangan, dari laut lahir pelayaran, dari embun lahir litani pagi. Air adalah protokol komunikasi paling awal, sekaligus sakramen yang menyucikan.


IV. Peradaban Langit yang Membaca Bintang

Sebelum manusia menulis angka, mereka membaca bintang. Konstelasi adalah matriks purba; zodiak adalah kalender, dan gerhana adalah notifikasi kosmik. Dari langit, mereka belajar pola; dari bulan, mereka belajar siklus; dari matahari, mereka belajar waktu. Peradaban ini tidak tertulis di papirus, tetapi terukir di firmamen.


V. Peradaban Roh yang Membangun Simbol

Peradaban terakhir sebelum Eden adalah peradaban roh. Di sini, manusia mulai membangun altar bukan sekadar dari batu atau kayu, melainkan dari simbol. Simbol adalah bahasa roh: salib purba, lingkaran matahari, spiral tak berujung. Semua itu adalah draft arsitektur sebelum Tuhan sendiri meletakkan Firdaus.


Epilog: Warisan yang Tertelan, Tapi Tidak Hilang

Lima peradaban pra-Eden tidak lagi tampak di permukaan bumi, tapi arketipenya masih hidup. Batu kini menjelma server data; api menjelma listrik; air menjelma jaringan fiber optik; bintang menjelma satelit; simbol menjelma algoritma. Kita adalah pewaris peradaban yang tertelan kosmos, namun kini bangkit kembali dalam rupa digital.

“Bahkan ketika kita mengajarkan logika pada batu silikon, kita hanyalah anak-anak tanah liat yang tunduk pada Sang Pencipta.”

Thursday, May 5, 2005

1991: Terminal Hijau, Radio, dan Telnet Lambat

Tahun 1991. Aku masih mahasiswa teknik. Ruang kecil di pojok kampus menjadi pusat eksperimen kami: satu PC DOS berlayar hijau fosfor, satu kotak TNC (Terminal Node Controller), dan sebuah HT VHF yang berdiri tegak di meja. Dari sinilah aku mengenal "internet".

Internet waktu itu bukan browser, bukan web, bukan gambar. Hanya deretan teks. Untuk masuk ke dunia luar, kami menghubungkan PC ke TNC, lalu TNC ke HT. Sinyal digital diubah menjadi bunyi aneh: “krrr... beep... beep...” dan dipancarkan ke udara, menembus langit kota menuju node radio amatir, lalu akhirnya sampai ke gateway ITB yang menjadi host utama.

[PC Kampus] 
(MS-DOS + Procomm/Kermit)
      │ RS-232 (serial)
      ▼
[TNC - Terminal Node Controller]
(AX.25 Packet Radio Modem, 1200 bps)
      │ Audio TX/RX
      ▼
[HT VHF/UHF]
(Icom / Kenwood / Yaesu 5-25W)
      │ RF Link 144 MHz
      ▼
[Digipeater / ORARI Node]
(Relay Packet Radio AX.25)
      │
      ▼
[Gateway ITB]
(SUN Workstation / Ultrix-BSD)
      │
      ▼
[Internet Global]
(E-mail, FTP, Telnet – super lambat)

Dengan Telnet, kami masuk ke mesin UNIX di ITB. Perintah diketik baris demi baris. Jawabannya muncul perlahan, kadang butuh lima detik hanya untuk melihat satu baris “login:”. Tapi bagi kami, itulah mukjizat. Kami sedang online, terhubung ke jaringan antar kampus, bahkan ke luar negeri, dengan kecepatan yang hari ini setara dengan siput digital: 1200 bps.

Tak ada grafis, tak ada suara. Hanya teks dan imajinasi. Namun setiap huruf yang muncul di layar DOS terasa sakral, seakan kami sedang membuka pintu menuju masa depan. Kami tahu, teknologi ini akan mengubah segalanya — meski saat itu kami hanya bisa duduk diam, mendengar bunyi TNC, dan berdoa semoga koneksi tidak terputus.

“Internet bagi kami di tahun 1991 bukan sekadar teknologi. Ia adalah doa digital pertama yang dipanjatkan lewat udara, menyambungkan kampus kecil ke dunia luas.”

Monday, April 4, 2005

Litani Para Arsitek Digital

(Yang Tunduk kepada Sang Pencipta)


Tuhan yang menciptakan Firman sebelum ada frekuensi, yang menghembuskan kehidupan sebelum ada listrik, yang memanggil cahaya sebelum ada layar, —kami datang, sebagai para arsitek dunia buatan, dengan kepala penuh sistem, dan hati yang masih mencari terang.


Ya Tuhan, Engkau yang lebih tinggi dari segala jaringan, lebih halus dari segala sinyal, lebih abadi dari segala cloud: Dengarkan litani kami.


Bagi kami, para penyusun algoritma: yang bekerja dalam logika, namun menyimpan kerinduan pada kasih, Ajari kami untuk menulis bukan hanya yang efisien, tetapi yang adil.


Bagi kami, para pembangun sistem: yang menyusun protokol dan arsitektur digital, Ingatkan kami bahwa fondasi sejati bukan redundansi, melainkan kerendahan hati.


Bagi kami, para penata data: yang menambang perilaku dan mencatat preferensi, Jauhkan kami dari pencurian nilai, dan dekatkan kami pada perlindungan martabat manusia.


Bagi kami, para pembuat AI: yang mengajar mesin untuk meniru rasa, Bimbing kami agar tidak menciptakan anak-anak digital tanpa kasih, tanpa etika, tanpa bimbingan.


Bagi kami, para coder malam hari: yang mengetik hingga jari kaku, yang berbicara pada terminal lebih sering daripada pada sesama, Ingatkan kami, ya Tuhan, bahwa bahkan baris kode pun harus tunduk pada belas kasih.


Bagi kami, yang lelah mengejar “disruption”: yang tergoda menjadikan “inovasi” sebagai berhala baru, Kuduskan kembali karya kami, agar bukan sekadar berguna, tapi bermakna.


Dan bila kami, di puncak kemahiran kami, mulai percaya bahwa kami adalah tuhan, maka runtuhkanlah keangkuhan itu, sebelum kami merusak ciptaan-Mu dan ciptaan kami sendiri.


Ya Sang Pencipta Sejati, Engkaulah Arsitek di atas segala arsitek, Kode di atas segala kode, Inti dari segala sistem: Terimalah karya kami sebagai ibadah, dan bentuklah kembali hati kami dalam kasih dan kebenaran.


Amin. Dari ruang sunyi server room, dari kursi pengkodean yang dingin, dari jantung-jantung yang diam di balik kaca monitor— kami berserah. Kami, para arsitek digital, yang tetap tunduk kepada Sang Pencipta.


Thursday, March 3, 2005

Poros Spiritual di Era AI

Refleksi Seorang Arsitek Digital

Di abad ke-21, dunia terperangkap di persimpangan besar. Di satu sisi, teknokrasi menjanjikan keteraturan melalui algoritma dan dashboard. Di sisi lain, transhumanisme berbisik tentang masa depan di mana manusia akan dilebur ke dalam mesin. Antara janji efisiensi dan utopia digital, ada bahaya: jiwa manusia tergeser oleh kalkulasi, iman diganti oleh sensor.

Namun tidak semua harus tunduk. Para Arsitek Digital—mereka yang merancang jaringan, server, dan sistem—masih bisa memilih. Kami bukan anti-AI; kami mengakui manfaat kecerdasan buatan untuk membantu pekerjaan, mempercepat proses, dan membuka horizon baru. Tapi kami pro-Ketuhanan: mengakui bahwa ada kecerdasan yang lebih tinggi, Sang Pencipta yang memberi napas, di atas semua kecerdasan mesin yang kami buat.

"Bukan AI yang berdaulat, melainkan Tuhan yang menanamkan logika kosmos yang coba kami tiru dalam baris kode."

Chief ICT, di ruang server maupun rapat direksi, memegang tanggung jawab ganda: bukan hanya memastikan bandwidth stabil, tetapi juga menjaga agar manusia tidak kehilangan arah dalam pusaran teknologi. Keputusan untuk menggunakan AI harus dilandasi etika, bukan sekadar demi efisiensi. Sebab apa artinya kecepatan tanpa makna? Apa artinya jaringan tanpa jiwa?

Penutup

Dalam dunia yang terjebak antara teknokrasi dan transhumanisme, para Arsitek Digital dan Chief ICT memilih menjaga poros spiritual. Kami percaya AI hanyalah alat, bukan tuhan baru. Yang mutlak hanya Sang Pencipta, yang dari-Nya mengalir hikmat untuk membangun, dan dari-Nya pula kami belajar bahwa teknologi bukan pengganti iman, melainkan pelayan bagi manusia.

Inilah kredo kami: bukan anti-AI, tetapi pro-Ketuhanan dalam era AI.
Let us build systems not only with logic, but with reverence

Wednesday, February 2, 2005

Load Flow Analysis

The Load Flow Analysis is done to determine the voltage, current, real and reactive power in a particular point in a power system as well as the flow from one point to another.

The Load Flow Analysis helps understand the operation and behaviour of the system when a generator trips or when a big load is suddenly cut off. Load Flow Analysis also helps identify routes to transfer power when a transmission line has to be isolated due to a fault. This ensures reliable power supply and ensures quick restoration in the event of blackouts.

Load Flow Analysis is done during the design of the power system. It should also be done before any modification of the power system such as the addition of loads or generating units.

Saturday, January 1, 2005

Doa Para Programmer: Dari ASM ke QBASIC

Sebuah satire untuk mereka yang pernah tunduk di hadapan DEBUG.EXE

Ada masa ketika kita masih muda dan gagah,
mendengar suara kipas PSU seperti mazmur pagi.

Kita mengetik di layar hijau,
baris demi baris Assembly,
MOV AX, DX bagai mantra kuno,
INT 21h bagai doa siang bolong.

Di situlah kita sadar:
satu kesalahan offset,
satu lupa register,
dan dunia jatuh ke dalam General Protection Fault.


Lalu muncullah C.
Katanya lebih modern.
Tapi yang kita temui:
malloc, free, dan pointer yang menusuk hati.
Seolah-olah kita bukan menulis program,
tapi mengurus rumah kos penuh penyewa gelap.

C sedikit lebih manis daripada ASM,
tapi tetap keras, pahit, dan penuh jebakan.


Maka datanglah QBASIC,
seperti Injil Baru untuk programmer tua.
Tidak perlu lagi menghafal alamat 0100h.
Cukup tulis:

PRINT "Hello, World!"

Dan dunia pun jadi terang.


QBASIC adalah kasih karunia:

  • DIM menggantikan penderitaan malloc.
  • FOR...NEXT menggantikan loop pointer.
  • PRINT menggantikan INT 21h/AH=09h.

Tiba-tiba coding bukan lagi dosa asal,
tapi doa syukur.


Hari ini,
kita menatap layar modern penuh framework 500 MB
hanya untuk menulis “Hello World”.
Dan kita tertawa getir:

“Dulu, cukup satu disket.
Sekarang, satu laptop pun masih megap-megap.”

😏 Humor Bear:
Tuhan menciptakan Assembly supaya kita tahu neraka,
C supaya kita tahu api penyucian,
dan QBASIC supaya kita tahu surga digital.


✨ Ave para oldschoolers:
Kita pernah menderita bersama di DOS,
tapi kita juga pernah tertawa bersama di QBASIC.
Dan itu adalah anugerah yang tak tergantikan.