Monday, January 1, 2024

Zaman NOS & TNC Rakitan: Jejak Internet dari Udara

Di awal 1990-an, sebelum Wi-Fi, sebelum internet fiber, bahkan sebelum modem telepon masuk kampus, ada sekelompok mahasiswa dan peneliti yang berani menantang langit. Mereka menyambungkan komputer DOS ke HT, melepas paket data lewat udara, dan menunggu balasan bising “krrr-beep” dari repeater di kejauhan.

Kuncinya ada pada TNC (Terminal Node Controller) — sebuah kotak pintar yang mengubah data komputer menjadi sinyal AX.25. Tetapi karena TNC pabrikan mahal dan langka, banyak yang merakit sendiri. Maka lahirlah BayCom modem, dengan IC Texas Instruments TCM3105 JL4049 sebagai jantungnya, sering disebut poor man’s TNC. Kotaknya kecil, sebesar bungkus rokok, namun mampu membawa TCP/IP menembus udara kampus.

Di atas perangkat keras rakitan itu, ada NOS (KA9Q NOS) — software TCP/IP untuk DOS. NOS adalah roh yang mengubah AX.25 menjadi protokol internet: membuka sesi Telnet, FTP, bahkan e-mail sederhana lewat udara. Tiba-tiba, layar hijau kampus bisa berbicara dengan mesin UNIX di gateway lokal atau gateway internasional.

HT adalah suara, TNC tubuh, BayCom akal-akalan, dan NOS adalah roh. Semua dirakit di tangan mahasiswa, sehingga dunia maya bisa merambat di udara kampus, meski hanya sebentar sebelum HT kepanasan.

Jaringan itu rapuh. HT cepat panas, modem buatan sendiri sering hang, dan bandwidth hanya 1200 bps — lebih lambat dari kedipan mata. Namun dari sinilah lahir semangat: bahwa internet bukan monopoli kabel mahal, melainkan hasil kreativitas, gotong-royong, dan sedikit keberanian teknis.

Kini, tiga dekade kemudian, BayCom dan NOS hanyalah artefak. Namun jejaknya masih terasa: budaya berbagi, semangat merakit, dan keyakinan bahwa meski hanya dengan HT dan kotak rokok berisi IC murah, dunia bisa disatukan lewat udara.


Zaman NOS dan TNC rakitan adalah bab kecil, namun sakral, dalam sejarah internet Indonesia. Bukan sekadar teknologi, tapi litani kreativitas — doa yang dipancarkan lewat antena, menembus malam, mencari jawaban dari gateway yang jauh.

Dan selalu di malam hari, ketika kampus sunyi, layar hijau menyala seperti lentera. Kami menunggu paket demi paket menembus udara, berharap gateway menjawab. Tidak ada kemewahan, tidak ada broadband, hanya suara “krrr-beep” yang menyalakan harapan. Di antara dengung HT dan panasnya transistor, kami belajar bahwa masa depan bisa lahir dari keterbatasan — dan dari keberanian untuk mencoba.

Refleksi singkat:

“Mereka yang pernah berjaga di malam-malam itu tahu, internet bukan sekadar kabel dan protokol. Ia adalah doa yang dipancarkan lewat antena, mencari sahutan di cakrawala.”