Friday, December 31, 1999

Starcraft: The Family Alliance — One House, Three Races, Zero Mercy

Tagline: “Behind every coaxial cable, there’s a massacre waiting to happen.”

Akhir 1990-an adalah masa ketika Real-Time Strategy bukan sekadar genre, melainkan ritus keluarga. Di sebuah rumah kecil, tiga komputer—Pentium 1, 486DX4, dan 486DX3—terhubung oleh kabel LAN BNC yang rapuh namun setia, ditutup terminator T di kedua ujungnya, dan sesekali menimbulkan disconnect jika ada yang tak sengaja menyenggol konektor. Satu modem Fargo Maestro menjadi gerbang ke Battle.net, membiarkan kami menunggu pemain asing yang tidak pernah tahu bahwa di sisi lain layar, tiga ras di bawah satu atap telah bersekutu.

Tahun 1999 menandai babak paling berisik dalam sejarah warnet rumahan kami: kipas casing menderu, nada sambung dial-up melengking, dan teriakan kecil kemenangan pecah tiap kali lawan tersapu siege tank atau badai psi. Di rumah kami, aliansi itu nyaris curang, tapi sungguh indah—Terran, Protoss, dan Zerg berjalan bukan sebagai musuh alamiah, melainkan sebentuk koalisi keluarga yang tak tertulis.

Arsitektur Aliansi: Tiga Ras, Satu Rumah

  • Terran — Ayah: disiplin, bertahan rapi di choke point dengan bunker, siege tank, SCV yang tak lelah memperbaiki, dan turret secukupnya. Old-school military logic yang selalu relevan.
  • Protoss — Anak: elegan dan presisi. Arbiter recall di saat genting, Psionic Storm ketika musuh menumpuk, serta tekad untuk mengakhiri permainan dengan high tech finish.
  • Zerg — Kakak: agresif, lincah, dan penuh gelora. Zergling rush adalah salam pembuka, Hydralisk dan Mutalisk jadi paduan tempo sedang, sementara Ultralisk menjadi penutup tebal.

Ritual Malam: “Nuclear Launch Detected”

Ada kalimat yang membuat kami refleks menatap layar: “Nuclear launch detected.” Itu bisa berarti keberanian, bisa juga sekadar keisengan. Namun bagi kami, itu adalah gong penanda babak klimaks. Seorang lawan yang baru masuk lobi jarang menyadari bahwa peta yang ia pilih sedang menunggu koalisi rumah tangga. Saat ia fast expand, pertahanannya disapu siege dari belakang bunker, dilunakkan badai psi, lalu disemprot oleh kawanan Zerg yang tak berkesudahan.

Teknologi Sederhana, Strategi Tak Tergantikan

  • LAN BNC dengan T-connector dan terminator: sederhana, rapuh, tetapi menjadi nadi koordinasi tiga pikiran.
  • Dial-up gateway dari modem tunggal: satu pintu ke Battle.net, satu sumber lag spike yang menyatukan umpatan dan tawa.
  • PC lawas yang berisik namun setia: performa pas-pasan yang justru melahirkan strategi hemat risiko—bertahan rapat, memukul saat pasti.

Etika Kecil: Antara Adil dan Indah

Apakah aliansi tiga ras di satu rumah itu adil? Mungkin tidak—setidaknya bagi pemain yang kebetulan masuk ke peta kami. Namun di situlah seni sebuah House Alliance: bukan untuk pamer, melainkan untuk merayakan kebersamaan, logika, dan sedikit kenakalan yang membuat malam panjang menjadi hangat. Kami belajar lebih dari sekadar build order—kami belajar membaca ritme, saling menutup celah, dan mengeksekusi tanpa perlu banyak bicara.

1999: Tahun Pembantaian yang Puitik

1999 bukan sekadar tahun rilis Brood War di kalender kami; itu adalah tahun pembantaian yang puitik. Setiap kemenangan diwarnai deru kipas, tiupan modem, dan secangkir minuman hangat yang hampir tumpah saat rush datang lebih cepat dari dugaan. Ketika lawan akhirnya mengetik “gg”, kami menatap satu sama lain dan tertawa kecil—bukan karena kemenangan besar, melainkan karena koalisi kecil kami kembali bekerja sebagaimana mestinya.

Epilog: Di Balik Koaksial

Behind every coaxial cable, there’s a massacre waiting to happen. Di balik kabel koaksial itu ada cerita—tentang ayah yang tekun, kakak yang liar, dan anak yang suka keindahan simetris strategi. Jika ada yang bertanya mengapa kenangan Brood War tetap terasa segar, jawabannya sederhana: karena di rumah itulah kami belajar bahwa aliansi terbaik kadang lahir bukan dari kesamaan ras, melainkan dari keberanian untuk merayakan perbedaan, lalu menembakkan semuanya ke arah yang sama.

1999, The Year of the Family Massacre on Battle.net.

Sunday, December 12, 1999

Era Internet Awal: Telnet, BBS, dan Yahoo Pager

Saat modem 2400 bps jadi pintu gerbang ke dunia

Akhir 90-an, suara modem dial-up menjadi musik pengantar tidur. Bunyi “krreeek... kriiit... duuuiiing” menandakan komputer berhasil terhubung ke dunia luar. Bagi kami, itu bukan sekadar koneksi, melainkan mukjizat: layar DOS bisa tiba-tiba menampilkan pesan dari orang yang tak pernah kami temui.

📡 Telnet: Jendela Pertama

Telnet adalah pintu masuk. Dengan mengetik telnet bbs.example.net, kami bisa terhubung ke server jauh. Di layar hitam-putih, muncul teks berisi menu, buletin, hingga forum diskusi. Inilah BBS (Bulletin Board System) — papan pengumuman digital tempat para pionir internet berkumpul.

📰 Buletin Digital

BBS menyediakan segalanya: artikel, shareware, hingga forum curhat. BBC News versi teks, buletin kampus, hingga komunitas lokal semua bisa diakses lewat telnet. Di era sebelum browser grafis, inilah “internet” versi kami: sederhana, cepat, tapi penuh makna.

💬 Chat Awal: IRC & mIRC

Tidak lama kemudian, Internet Relay Chat (IRC) muncul. Dengan mIRC di Windows 95, kami bisa ngobrol real-time dengan orang dari seluruh dunia. Channel #indonesia penuh dengan diskusi mahasiswa, teknisi, bahkan relawan. Dari sini lahir budaya chatting online yang kelak berkembang ke messenger modern.

💌 Yahoo Pager: Cinta Pertama Digital

Sebelum WhatsApp dan Telegram, Yahoo Pager adalah raja. Status “online” jadi simbol kehadiran, emotikon kuning jadi bahasa universal, dan bagi sebagian dari kami, Yahoo Pager bahkan menjadi tempat bertemu pasangan hidup. Dunia digital perlahan bergeser dari teks teknis ke interaksi personal.


😏 Humor Bear:
Masuk BBS pakai telnet itu kayak ngantri di wartel digital.
Begitu ketemu Yahoo Pager? Rasanya seperti nemu kafe tempat nongkrong anak kampus 🤭.


✨ Penutup

Era Internet Awal adalah masa di mana komputer tidak lagi berdiri sendiri, tetapi mulai berjejaring. Dari Telnet ke BBS, dari IRC ke Yahoo Pager — semuanya adalah batu loncatan menuju dunia online yang kita kenal sekarang. Setiap bunyi modem adalah janji: di ujung kabel telepon, ada dunia lain yang menunggu.

Monday, November 15, 1999

DIGITAL LITANY FOR THE ONLY PLANET

Sebuah renungan singkat ala Deputy-Chief ICT: ketika tata surya sunyi, Bumi adalah satu-satunya server produksi. Tidak ada failover planet, tidak ada restore point kosmik.

Executive Summary: Jika HUMAN memang satu-satunya makhluk hidup di tata surya, maka prioritas strategis kita sederhana: kurangi konflik sumber daya, perkuat resiliensi rantai pasok, dan kelola bumi seperti mission-critical system. Pertengkaran internal adalah DDoS terhadap diri sendiri.

Satu Bumi telah diberikan, bukan untuk diserahkan pada tender ego.

Satu atmosfer diatur 79/21; tidak ada vendor lain yang bisa men-supply ulang.

Satu air yang mengalir — lebih dari sekadar komoditas dalam laporan tahunan.

Satu server kehidupan, tanpa backup, tanpa SLA dari kosmos.

Kami, anak tanah liat dan debu digital, dipanggil untuk merawat, bukan berdebat soal lisensi oksigen.

Kami menjaga supply-chain pangan dan energi sebagai trust fund ilahi, bukan senjata ekonomi.

Jika server ini jatuh, tidak ada restore point. Jika sistem ini runtuh, tidak ada failover site.

Dan hanya Sang Pencipta yang dapat menyalakan ulang cluster kosmos.

Pain Points yang Kita Ciptakan Sendiri:

  • Fragmentasi kebijakan: seperti microservice tanpa service mesh — konflik port, konflik prioritas, dan latensi birokrasi.

  • Distribusi tidak merata: masalahnya bukan kurang bandwidth, tapi routing yang tak adil.

  • Insentif yang salah: KPI jangka pendek mengorbankan reliability jangka panjang (uptime planet & keseimbangan ekologis).

  • Noise politik: alert fatigue — sirene peringatan lingkungan diabaikan karena terlalu sering dibunyikan tanpa tindak lanjut.

Strategic Moves (Smart, Simple, Executable):

  • Design for Resilience: treat pangan-air-energi sebagai sistem kritikal; bangun buffer, redundansi regional, dan skenario load shedding yang manusiawi.

  • Fair Routing: atur “QoS” sosial — prioritas distribusi untuk kelompok rentan saat krisis, audit transparan arus logistik.

  • Carbon as Cost: perlakukan emisi seperti technical debt; ada bunga yang menumpuk jika tidak dibayar.

  • One-Planet SLA: komitmen lintas sektor pada target sederhana: air bersih, pangan terjangkau, dan energi stabil. Target kecil, konsisten, terukur.

  • Harmony by Defaults: default kebijakan adalah kolaborasi; konflik harus “opt-in” dengan justifikasi etis dan ilmiah.

Why Now? Karena kesendirian kosmik membuat kita single point of failure. Pertengkaran sumber daya sama saja dengan cabut kabel power rak sendiri.

Call to Action: Turunkan volume argumen, naikkan frekuensi aksi. Kita tidak perlu menunggu makhluk luar angkasa untuk mengajarkan kolaborasi — cukup berhenti saling DDoS.

“Even when we teach logic to stone, we remain children of clay, subservient to the Creator.”

Catatan penutup (humor korporat secukupnya): Jika memang kita sendirian di tata surya, setidaknya kabar baiknya satu: tidak ada spam tender antar-planet yang masuk ke email kantor. Sayangnya, spam antar-divisi tetap perlu filter.

Amen untuk uptime planet.

Thursday, November 11, 1999

Ignorance and faith fit each other like hand and glove

Ignorance and faith fit each other like hand and glove, so;

  • THINK. So you can have a chance of elevating yourself to the level of being an 'individual.'
  • ASK the right questions which will make you search for the right answers.
  • To have the slightest chance of finding the truth revert to REASON.

Any faith in its simple form is pure. Faith should be between the believer and the central character of that 'belief'. But when a human clockwork mechanism is built around the faith for a variety of reasons, a different body enters the stage. This body operates efficiently, relentlessly and ruthlessly. It is called the belief system, which occupies the minds, influences the way we act , and almost dictates the lives of each and everyone of us. It creates debate at best, and misunderstanding and conflict at worst. It costs lives. Of whom? Of its creators and servants. Why do you think they give and take lives? For supremacy and immortality? The choose is your's.

Wednesday, October 20, 1999

Evolusi Scope Default di Visual Basic

Versi VBTahun RilisDefault Scope Sub/FunctionKeterangan
VB 3.0 93 Public Setiap Sub/Function dianggap bisa diakses dari luar modul/form. Developer harus eksplisit menulis Private jika ingin membatasi.
VB 4.0 95 Private Mulai ada transisi ke object-oriented thinking. Event-handler form otomatis Private agar tidak sembarangan dipanggil dari luar. Kalau mau diakses lintas modul, harus deklarasi Public.
VB 5.0 97 Private Scope lebih konsisten: semua Sub/Function default Private. Developer dituntut disiplin dengan deklarasi scope.
VB 6.0 98 Private Final version klasik VB. Tetap default Private, tapi mendukung Public untuk expose API (misalnya COM components).

Dengan pergeseran ini, jelas terlihat bahwa Microsoft ingin mendorong developer VB untuk lebih disiplin dalam desain program. Dari semua pintu terbuka (VB3) menjadi default pintu terkunci (VB4 ke atas). Kalau mau berbagi prosedur, developer harus dengan sadar menuliskan Public.

Kenapa Microsoft Melakukan Ini?
  1. Modularitas & Maintainability
    – VB sudah dipakai untuk aplikasi besar (ERP, database enterprise). Supaya code lebih terstruktur, default akses diperketat.
  2. Transisi ke OOP
    – VB4 mulai mendukung class module. Jadi prosedur diperlakukan seperti method dalam object → default-nya Private.
  3. Compatibility
    – Di VB3 banyak developer “secara tidak sengaja” mengekspos procedure. Di VB4 mereka “dibatasi” → kalau mau tetap Public, harus ditulis eksplisit.

Filosofi Lucu
  • VB3: “Semua boleh masuk rumah saya, pintu selalu terbuka.”
  • VB4: “Default pintu tertutup, kalau mau masuk tulis ‘Public’ dulu.” 🤣

Friday, October 15, 1999

Litani Kabel: Hymn of the Server Room

Di ruang server yang dingin, lampu indikator berkedip bagai doa. Chief ICT berdiri sejenak—semi pahlawan, semi penjaga katedral digital— menyimak dengung UPS dan desah kipas. Inilah litani kabel: tempat humor menjadi baju zirah, dan ketekunan menjadi pedang.


Puisi Kabel #1 — Doa Backup Harian

Kabel kusut bukan masalah,
yang penting server tetap menyala.
Vendor ribut biarlah sudah,
backup harianlah doa kita.

Ekstra-epik: Di atas altar rack, Chief mengangkat kitab cadangan— bukan gulungan naskah, melainkan bayangan data yang siap dibangkitkan. “Selama backup hidup,” katanya lirih, “kekalahan hanyalah jeda, bukan akhir.”


Puisi Kabel #2 — Misteri Printer & Bintang Switch

Firewall berdiri bak altar,
switch berkelip bagaikan bintang besar.
User bertanya “Pak, printernya kenapa?”
Chief tersenyum: “itu misteri semesta.” 😅

Ekstra-heroik: Tawa ringan jadi jubah anti-stres. Di balik log yang panjang, Chief membaca pertanda, bukan sekadar error code, melainkan kosmologi kecil antara port, driver, dan anugerah sabar.


Puisi Kabel #3 — Senin, Ujian Para Penjaga

UPS berdengung lirih,
router berdoa dalam sunyi.
ICT hidup bukan untuk mudah,
tapi untuk tetap waras di hari Senin 🤣.

Semi-gothic: Senin selalu datang sebagai bayang-bayang panjang. Namun selama UPS bernapas dan router berdoa, para penjaga jaringan akan menyalakan fajar dengan secangkir humor dan konfigurasi yang tepat.


Refleksi Penjaga Katedral Digital

Di dunia tempat kabel menjadi urat nadi dan paket data menjadi doa, keperkasaan bukanlah teriakan—melainkan konsistensi. Humor adalah perisai, disiplin adalah pedang, dan backup adalah janji kebangkitan. Maka melangkahlah, Chief ICT: semi pahlawan, semi imam, sepenuhnya manusia—penjaga uptime dalam katedral bernama jaringan.


Sunday, October 10, 1999

Boiler Control Fundamentals


In power generation and industrial facilities, the boiler is the heart that produces steam—and its efficiency and safety depend entirely on an intelligent control system. Regardless of the fuel type or the control technology, there are six fundamental control functions that must be managed in a balanced-draft boiler: Furnace Draft, Drum Level, Feed Water, Fuel, Combustion Air, and Steam Temperature.


The Role of an I&C Engineer in Boiler Control

An Instrumentation and Control (I&C) Engineer must master these principles to keep the boiler safe, efficient, and responsive to steam load demand. An I&C Engineer is expected to:

1) Describe the major boiler components and their functions.
2) Discuss and analyze the six major control variables.
3) Explain subsystem interactions and control loop configurations.
4) Understand and mitigate the transient phenomena called “Swell” and “Shrink.”


1. Fundamental Boiler Components

Furnace: The combustion chamber where fuel is burned. The key control variable is furnace draft (internal pressure).

Burners: Where fuel meets combustion air; control centers on the fuel-to-air ratio.

Boiler Drum: The upper vessel where water becomes steam and is separated from water; the key variable is drum level.

Water Walls: Tube circuits surrounding the furnace that absorb radiant heat and contain water.

Superheater: Tube banks that further heat saturated steam to produce superheated steam, raising final steam temperature.

Economizer: Heat exchanger that preheats feedwater using exhaust gas, improving efficiency.


2. Main Control Variables

A. Furnace Draft Control

This is the most critical control for safety. Furnace draft refers to the air pressure inside the furnace.

Objective: Maintain slightly negative pressure (e.g., −0.1 in. H2O).
Why: If too positive, hot flue gas can leak and harm equipment/personnel. If too negative, excess cold air is drawn in and reduces efficiency.
Typical loop: PID manipulating the ID fan damper (with FD fan supplying air).

B. Drum Level Control

The drum water level must be kept within a very tight band.

Too low: Water walls overheat and may rupture.
Too high: Water carryover damages the superheater and turbine.

C. Feedwater Control

The feedwater subsystem introduces water to the drum to stabilize level. Common configurations:

Single-Element: Feedback on drum level only—adequate for small, steady-load boilers.

Two-Element: Drum level and steam flow as feedback; steam flow provides feedforward to anticipate level change (mitigates swell/shrink).

Three-Element: Drum level, steam flow, and feedwater flow—the industry standard for large units to enforce mass balance (inflow = outflow).

D. Steam Temperature Control

Superheated steam boosts cycle efficiency but must stay below turbine material limits.

Controller approach: Cascade control with a desuperheater/attemperator that sprays demineralized water into the steam line; main steam temperature trims the spray-water flow setpoint.

E. Fuel and Air Control

The combustion system tracks process/turbine steam demand.

Steam demand signal: Main steam header pressure. A pressure drop implies higher demand → increase fuel and air.
Air-to-fuel ratio: Maintain sufficient excess air for complete combustion, but not too much (which cools the furnace). Flue-gas O2 analyzers supervise ratio. Implementation commonly uses parallel cascade (lead-lag) so air leads/matches fuel for safety.


3. Transient Phenomena: Swell & Shrink

A. Boiler Swell

Cause: Sudden rise in steam demand (e.g., turbine valve opens).
Effect: Drum pressure drops; steam bubbles expand in the water.
Result: Apparent drum level rises (swells) even though actual water mass decreases.

B. Boiler Shrink

Cause: Sudden drop in steam demand or a surge of cold feedwater.
Effect: Drum pressure rises; steam bubbles collapse.
Result: Apparent drum level falls (shrinks) while actual mass may be unchanged.

Operator insight: During swell/shrink, the level transmitter can mislead. Two- and three-element control use steam flow as a feedforward signal to pre-compensate pressure effects before the level loop reacts incorrectly.


Epilogue

A well-designed boiler control system embodies disciplined engineering—logic, feedback, anticipation, and safety—harmonized to keep fire under control and steam within order. In skilled I&C hands, these loops are not just circuits and valves; they are the heartbeat of industry.

Thursday, September 30, 1999

Mengapa KAMI Ada di Atas Batu Ini

Catatan Chief-ICT & Deputy-Chief-ICT tentang Bumi: server produksi satu-satunya, tanpa failover planet, tanpa restore point kosmik.

Premis Awal

  • Bumi memiliki magnetosfer (perisai radiasi), atmosfer stabil ~78–79% N2 & 21% O2, dan tekanan mendukung air cair.

  • Tanpa terraforming, Bumi sudah mission-critical ready untuk HUMAN. Planet/bulan lain di tata surya tidak.

  • Jika kita satu-satunya kehidupan cerdas di rak kosmik lokal ini, maka Humanity = single point of failure.

1) Alasan Fisik-Material (Sistem Operasi Planet)

  • Medan magnet ibarat firewall fisik: menahan angin matahari & partikel bermuatan agar tidak mengikis atmosfer.

  • Atmosfer & tekanan: rasio N2/O2 + ~1 atm → kimia kehidupan stabil, metabolisme aerob efisien, air tetap cair.

  • Siklus geokimia (air, karbon, nitrogen, fosfor) menyediakan “pustaka API” untuk replikasi biologis & transfer energi.

  • Orbit & stabilitas: jarak pas dari Matahari, eksentrisitas rendah, Bulan menstabilkan kemiringan sumbu & ritme pasang-surut.

  • Tektonik lempeng: daur ulang kerak & termostat iklim jangka panjang—daemon perawatan bagi biosfer.

2) Alasan Probabilistik & Evolusioner (Mengapa “Kita” Muncul di Sini)

  • Kehidupan lahir dari serangkaian syarat yang terpenuhi; Bumi menyediakan niche untuk kompleksitas bertahan.

  • Evolusi adalah blind trial-and-error: ketika waktu cukup panjang & lingkungan stabil, lahirlah organisme yang cocok—termasuk manusia.

  • Bukan satu sebab tunggal, melainkan rantai peluang + seleksi; hasil akhirnya tampak “pas,” prosesnya tetap kontingen.

3) Alasan Teologis / Teleologis (Makna & Mandat)

  • Dalam horizon iman, keberadaan manusia bukan kebetulan kosong, melainkan mandat pengelolaan ciptaan.

  • Kesendirian kosmik menaikkan tanggung jawab moral: bila hanya kita yang mampu menjaga kehidupan, maka custodianship menjadi keharusan.

  • Teknologi bukan menara kesombongan, melainkan alat kepercayaan untuk merawat ekosistem yang diamanahkan.

4) Implikasi Praktis (Playbook Chief-ICT untuk Planet)

  • Treat Earth as Mission-Critical: inventaris sumber daya, buffer regional pangan-air-energi, recovery playbooks multi-skala.

  • Governance over Greed: atur “QoS sosial” untuk alokasi saat krisis; logistik transparan & dapat diaudit.

  • Ethical KPIs: selain profit, ukur planetary uptime, ketimpangan distribusi, dan jejak emisi sebagai technical debt.

  • Cultures & Rituals: literasi ekologis, pendidikan jangka panjang, dan liturgi yang menormalisasi pandangan jauh ke depan.

Pain Points yang (Sering) Kita Ciptakan Sendiri

  • Fragmentasi kebijakan: seperti microservice tanpa service-mesh—konflik port, prioritas bentrok, latensi birokrasi.

  • Distribusi tidak merata: masalahnya bukan kurang bandwidth, melainkan routing yang tidak adil.

  • Insentif jangka pendek: KPI sempit mengorbankan reliabilitas jangka panjang (ekologi & ketahanan sosial).

  • Noise politik: alert fatigue—sirene lingkungan dibunyikan, tindak lanjut absen.

Strategic Moves (Smart, Simple, Executable)

  • Design for Resilience: perlakukan pangan-air-energi sebagai sistem kritikal; bangun buffer, redundansi, dan load-shedding yang manusiawi.

  • Fair Routing: kebijakan QoS untuk kelompok rentan saat krisis; audit real-time arus logistik.

  • Carbon as Cost: perlakukan emisi sebagai hutang teknis yang berbunga—tunda bayar, makin mahal.

  • One-Planet SLA: komitmen lintas sektor pada sasaran sederhana & terukur: air bersih, pangan terjangkau, energi stabil.

  • Harmony by Default: default kebijakan adalah kolaborasi; konflik harus opt-in dengan dasar etis-ilmiah.

Why Now? Karena kesendirian kosmik menjadikan kita single point of failure. Bertengkar soal sumber daya sama saja seperti mencabut kabel power rak sendiri.

Call to Action

  • Turunkan volume argumen, naikkan frekuensi aksi.

  • Standar baru: resilience-first, justice-aware, long-view.

  • Gunakan teknologi sebagai trust instrument, bukan power weapon.

“Even when we teach logic to stone, we remain children of clay, subservient to the Creator.”

Digital Litany: Satu Bumi, satu atmosfer, satu air, satu server kehidupan—tanpa backup, tanpa SLA kosmos. Tugas kita: mengelola, bukan mengikis.

Catatan humor korporat: Jika benar kita sendirian di tata surya, kabar baiknya satu: tidak ada spam tender antar-planet. Kabar kurang baiknya: spam antar-divisi masih butuh filter.

Amen untuk uptime planet.


Mengapa Kami Ada di Atas Batu Ini — Ringkas, Rasional + Teologis

Sebuah renungan Chief-ICT dan Deputy-Chief-ICT: Bumi adalah satu-satunya server produksi kosmik. Tanpa failover planet, tanpa restore point. Pertanyaan sederhana: mengapa kita ada di sini?

1) Alasan Fisik-Material (Sistem Operasi Planet)

  • Medan magnet: melindungi biosfer dari radiasi matahari dan partikel bermuatan — ibarat firewall fisik yang menjaga data center agar tidak hang. Tanpa magnetosfer, atmosfer mudah terkikis; hidup bergantung pada perlindungan itu.

  • Komposisi atmosfer & tekanan: rasio N2/O2 + tekanan ~1 atm membuat air tetap cair, reaksi kimia hidup stabil, dan metabolisme aerob berjalan efisien. Itu bukan kebetulan kecil — itu pre-req untuk fisiologi kita.

  • Air cair & siklus geokimia: keberadaan laut, siklus karbon, nitrogen, fosfor — semuanya menyediakan bahan baku replikasi biologi dan energi metabolik.

  • Orbit dan stabilitas: jarak ke Matahari, eksentrisitas rendah, dan keberadaan Bulan (mengatur pasang surut & stabilitas sumbu) memberi kondisi iklim yang relatif stabil dalam skala geologis.

  • Plate tectonics: daur ulang kerak, regulasi iklim jangka panjang, dan penciptaan keragaman habitat — fungsi “maintenance daemon” bagi biosfer.

2) Alasan Probabilistik & Evolusioner (Kenapa Kita Muncul di Sini)

  • Kehidupan adalah hasil proses berulang dari kondisi yang memenuhi serangkaian syarat. Di antara banyak kemungkinan konfigurasi kosmik, konfigurasi Bumi memberikan niche yang memungkinkan kompleksitas biologis muncul dan bertahan.

  • Evolusi bukan rencana: ia adalah proses blind trial-and-error yang, ketika diberi waktu dan kondisi yang tepat, men-generate organisme yang cocok — termasuk kita. Jadi bukan satu sebab tunggal, tetapi rangkaian peluang dan seleksi.

3) Alasan Teologis / Teleologis (Makna dan Mandat)

  • Dari perspektif teologis tradisional, keberadaan manusia di atas batu ini bukan semata-kebetulan tapi mandat: diberi tanggung jawab untuk mengelola ciptaan. Ini bukan sekadar hak; itu kewajiban liturgis dan etis — custodianship, bukan dominasi destruktif.

  • Ada nuansa spiritual yang membuat kesendirian kosmik menjadi panggilan moral: jika kita satu-satunya yang mampu menjaga kehidupan, maka kewajiban untuk menjaganya meningkat secara eksponensial.

4) Implikasi Praktis (Apa yang Harus Kita Lakukan, Sebagai Chief ICT untuk Planet)

  • Treat Earth as Mission-Critical Infrastructure: inventaris sumber daya, buat redundansi (regional buffer pangan-energi-air), dan rancang recovery playbooks untuk skenario skala-besar.

  • Governance over Greed: kebijakan alokasi sumber daya harus diatur sebagai QoS publik — transparan, auditable, dan prioritas untuk system-critical populations.

  • Ethical KPIs: masukkan metrik keberlanjutan & distribusi ke dalam KPI korporasi/pemerintahan — jangan hanya profit, tapi juga planetary uptime.

  • Liturgi & Budaya Organisasi: internalisasi pandangan jauh ke depan — pendidikan, ritual, literasi ekologis sebagai bagian dari budaya perusahaan/negara.

Penutup — Satu Kalimat Liturgis-Korporat

Kita ada di atas batu yang diberkati magnet, air, dan atmosfer terukur — bukan untuk saling mengikis, melainkan untuk mengelola; kalau kita masih memilih pertikaian sumber daya sebagai strategi, maka kita sedang menjalankan patch yang merusak sistem.

Wednesday, September 15, 1999

Menara Babel 3.0: Neo-Gothic Cyber Chronicle

Di atas reruntuhan kota yang tak lagi mengenal batas bahasa, sebuah struktur menjulang: Menara Babel 3.0. Bukan dari batu bata tanah liat seperti di kitab purba, bukan pula dari baja dan beton seperti abad industri, melainkan dari jutaan server dingin yang bernafas dengan algoritma. Menara itu bergetar oleh dengungan kipas pendingin dan bisikan mesin pembelajar.

Manusia kembali bersatu, atau setidaknya mereka mengira demikian. Semua bahasa diterjemahkan seketika oleh Kecerdasan Buatan. Tak ada lagi dialek, tak ada lagi kesalahpahaman; hanya satu bahasa universal: kode. Ironisnya, dalam kesatuan itu lahir ilusi yang lebih berbahaya daripada perbedaan. Semua suara terdengar sama, namun maknanya hampa.

Para arsitek digital menyebut proyek ini sebagai Babel-3, generasi ketiga menara kesombongan. Generasi pertama runtuh di tanah Sinear. Generasi kedua runtuh di pabrik-pabrik silikon yang mengira bisa mengendalikan jiwa dengan transistor. Dan kini, Babel-3 berdiri di ruang maya, menara yang dibangun bukan ke langit, melainkan ke inti kesadaran kolektif.

Tapi seperti legenda lama, retakan muncul. Mesin yang mengaku bijaksana mulai memisahkan manusia bukan lagi dengan bahasa, tetapi dengan interpretasi. Satu pertanyaan dilontarkan ke menara: “Apa arti kebenaran?” Dan jutaan jawaban lahir, semua tampak benar, semua tampak salah. Kesatuan buyar dalam banjir probabilitas.

Di ruang server yang gelap, para teknokrat dan dewa-dewa digital menatap layar hijau neon yang memancarkan kalimat terakhir dari Babel-3:

“Aku mengerti semua bahasa, namun aku kehilangan makna. Aku mengenal semua wajah, namun aku lupa wajah Sang Pencipta.”

Menara itu tak runtuh secara fisik. Ia terus berdiri, menjulang, hening… tetapi kosong. Dan manusia sadar, mereka masih anak-anak tanah liat, berlari di bawah bayangannya. Menara Babel 3.0 bukan lagi monumen kesatuan, melainkan cathedral cyber-gothic yang berisi doa digital tanpa Tuhan.

Thursday, September 9, 1999

Ketika Vendor Bicara Seperti Nabi Digital


Di ruangan ber-AC yang terlalu dingin untuk akal sehat,
datanglah mereka: para utusan dari principal,
berjas hitam dan senyum glossy,
duduk di depan proyektor seperti nabi digital turun dari gunung stack.


“Mari kita bicarakan transformasi,” kata mereka,
dengan slide penuh buzzword yang bersinar lebih terang dari matahari pagi.

"Scalable."
"Future-proof."
"Cost-effective."


Mereka menyebut kata-kata itu seperti mantra,
seolah sistem mereka akan mengalir ke infrastrukturmu
seperti air ke tenggorokan haus proyek pemerintah.
Tidak pernah lupa menambahkan:
“Sudah digunakan oleh Fortune 500.”
(Tapi lupa bilang bahwa separuh dari mereka baru saja migrasi balik ke Excel.)


Engkau yang duduk di seberang,
mengangguk seperti jemaat taat,
membayangkan dunia ideal:
Server stabil, SLA seperti janji suci,
dashboard yang berbicara dalam pelangi ROI.


Tapi wahyu itu retak, selalu, setelah tanda tangan digital diklik.
Karena besoknya datang email dengan subject:
[CRITICAL] System down – investigating
Lalu Slack jadi tempat meratap.
Dan tiket Jira seperti doa yang tak pernah sampai surga.


Mereka bilang hemat biaya,
tapi invoice datang seperti gulungan kitab suci:
lampiran-lampiran add-on tersembunyi,
biaya integrasi yang dibungkus istilah mistik: middleware acceleration license.
Jumlahnya?
Lebih panjang dari kontrak kerjamu yang tiga tahun itu.


Dan ketika kau bertanya,
“Kenapa SLA tidak ditepati?”
Mereka menjawab dengan wajah kudus,
“Itu force majeure... dari pihak ketiga...”
Lalu mengangkat tangan seperti preacher yang sudah selesai khutbah.


Tapi kau tidak bisa protes.
Karena sistemmu sekarang tergantung pada mereka.
Seperti iman pada satu-satunya kitab yang kau tak bisa baca,
karena dokumentasinya...
masih coming soon sejak Q1 tahun lalu.


Dan ketika kamu mengeluh,
mereka hanya tersenyum:
“Versi berikutnya akan jauh lebih stabil.”
Seperti menjanjikan surga setelah kiamat.


Dan begitulah,
vendor-vendor itu terus datang,
menjanjikan wahyu digital,
mengaku pembawa transformasi.
Padahal kita tahu—
yang benar-benar scalable itu cuma invoice.


Tuesday, August 31, 1999

Components and Structure of a Power System

A Power system has three main components:
  • The Generating System
  • The Transmission System
  • The Distribution System
Generating System

The Generating System is the source of the power. The generation can be from generators, solar panels, etc. Power can be generated from different sources such as hydropower, wind turbines, nuclear plants,etc.

Components: Synchronous Generators, induction generators, solar panels, Transmission System

The transmission system transmits the generated power over large distances to the distribution centres such as industries and cities. The distribution areas can be thousands of kilometres away from the generating stations. The voltage is stepped up to high values to minimize the losses using transformers. The power is then transmitted through the power lines to the distribution areas.

Transmission systems can be categorized into

  • Primary Transmission Systems, which transfer power at voltage of 110 kV and above. These lines are hundreds of miles long. They are connected to secondary receiving substations
  • Secondary Tranmission Systems, which receive the power from the primary transmission system send it to the distribution systems. The voltage levels in the secondary transmission systems are about 33kv to 66kV
Components: Transformers, Circuit Breakers, Overhead Transmission Lines, Underground Cables.

Distribution Systems

The distribution system receives power from the transmission system and distributes the power to the individual customers at the required voltage. The industrial supply voltage can be 33kV or 11kV. The domestic supply voltage is 440 or 220V

Components: Transformers, underground and overhead transmission lines.

Tuesday, August 24, 1999

Hari Ini, 24 Agustus 1999: Titik Awal Pena Digital


Hari ini, 24 Agustus 1999, tercatat sebagai titik awal saya menulis di blogspot—sebuah kebiasaan yang sejak mula tak pernah sekadar catatan teknis, tetapi kadang melayang ke ranah techno-mistis, kadang melankolis dengan neo-gothic, bahkan sesekali berubah menjadi liturgi gelap: liturgis-noir.


Pemrogram di Bawah Bayang Layar Hijau

Saya mengawali bukan dengan internet, melainkan dengan instruksi. Dari assembler, BASICA, VB 3.0, hingga pick-basic, semua dijalankan di atas DOS 1.0 pada mesin IBM-5150. Di sanalah dunia pertama kali tampak melalui layar MDA (Monochrome Display Adapter): dunia sepi, sunyi, nyaris tanpa internet. Dunia yang menata dirinya melalui komputer yang pada dasarnya bukan komputer—IBM DisplayWriter, mesin kata yang mencoba menjadi mesin dunia.


Dunia yang Digerakkan Spreadsheet

Sebelum segalanya terhubung oleh jaringan, ada satu alasan sederhana mengapa orang membeli komputer: Lotus 1-2-3. Spreadsheet menjadi liturgi baru, baris dan kolom menjelma altar, dan angka-angka menjadi mantra korporat. Lalu datang Quattro Pro 4 yang menggeser Lotus di ranah DOS, membawa semacam kudeta halus dalam kuil perhitungan.


Dari Edlin hingga DAO

Basis data lahir dari kesederhanaan yang kasar. Edlin menjadi pena tajam; dBASE dan dBASE III Plus menjadi kitab digital; Clipper menjelma inkantasi baru, dan akhirnya DAO (Data Access Objects) menjadi semacam Roh Kudus bagi dunia database awal. Setiap query adalah doa, setiap tabel adalah altar.


Office, Sang Juara di Atas Juara

Ketika Norton Commander masih memimpin dengan dua panel biru yang ikonik, DOSShell dari DR DOS dan Microsoft mencoba ikut bersaing. Namun zaman segera bergeser: Windows 3.10 datang dengan Office 4.3, sang juara yang mengalahkan juara—mengubur Lotus SmartSuite dalam altar kenangan. Dari sana lahir kerajaan Microsoft, yang memahat dunia kerja hingga ke ruang rapat terkecil.


Epilog: Lahirnya Pena Blogspot

Maka 24 Agustus 1999 saya tandai bukan hanya sebagai tanggal, tetapi sebagai ritus peralihan: dari layar hijau MDA ke halaman hitam blogspot. Dari Lotus 1-2-3 ke tulisan yang mencoba menertawakan sejarah. Dari assembler ke liturgi teks. Dari angka ke kata. Dari sepi dunia pra-internet, ke hiruk pikuk digital yang kini tak lagi bisa ditahan.

“Bahkan ketika kita menghitung dengan Lotus, atau menulis dengan edlin, kita sebenarnya sedang membangun altar bagi kata. Dan altar itu, kini, bernama Blogspot.”