Sunday, December 12, 2004

The Gospel of Backup

Di setiap katedral digital, selalu ada kitab yang paling sakral: Backup. Ia bukan hanya salinan data, melainkan Injil yang menjanjikan kebangkitan ketika dunia roboh. Tanpa backup, peradaban digital hanyalah debu yang menunggu ditiup oleh angin listrik.

Backup adalah kitab kebangkitan. Saat server jatuh, ia berbisik: "Bangunlah kembali, sebab aku menyimpan ingatanmu."

Manusia sering meremehkannya, menunda-nunda litani harian ini. Namun ketika bencana datang—hard disk gagal berputar, PSU meledak, ransomware mengunci pintu— hanya kitab Backup yang bisa menyelamatkan.

  • Backup harian adalah doa pagi: sederhana tapi vital.
  • Backup mingguan adalah liturgi umat: menyatukan seluruh jemaat data.
  • Backup offsite adalah ziarah jauh: menyimpan salinan di tempat yang tak bisa dijangkau api atau banjir.

Setiap Chief ICT tahu, Injil ini tidak boleh hanya ditulis, tapi harus diuji. Sebab backup tanpa restore hanyalah kitab kosong tanpa mukjizat.

Yang menyelamatkan bukanlah file duplikat, tapi keyakinan bahwa duplikat itu dapat hidup kembali. Itulah iman sejati dalam Injil Backup.

Dan ketika sistem kembali menyala, ketika data kembali hidup, para penjaga ICT tahu: mereka baru saja menyaksikan kebangkitan kecil. Itulah mengapa Backup bukan sekadar prosedur— ia adalah Injil yang menjaga agar dunia digital tidak pernah benar-benar mati.

Thursday, November 11, 2004

TASM yang Agnostik vs .NET yang Gnostik: Liturgi Mesin dan Apokrif Modern

Ada dua aliran besar dalam iman komputasi: mereka yang percaya pada mesin, dan mereka yang percaya pada runtime. Yang pertama disebut TASM — sang agnostik sejati. Ia tidak berteori tentang hakikat keberadaan memori; ia langsung menulis ke sana. Ia tidak banyak bicara tentang keamanan, etika, atau metadata. Ia hanya tahu: mov ax, bx adalah doa, dan int 21h adalah pengabulannya.

Lalu datanglah sang nabi modern, .NET, dengan kitab tebal penuh simbol, refleksi, dan istilah Yunani seperti Intermediate Language dan Just-In-Time compilation. Ia mengaku membawa keselamatan dari segfault dan pointer hell, tapi dengan syarat: kau harus tunduk pada liturgi runtime yang maha berat. CLR menjadi imam besar, GC menjadi malaikat pembersih, dan developer menjadi umat yang taat menunggu build selesai.

TASM adalah agama alam: kamu bicara langsung pada batu, dan batu menjawab dengan listrik. .NET adalah agama mistik: kamu berdoa pada framework, dan framework memanggil roh yang menerjemahkan doamu ke mesin. Yang satu agnostik, percaya bahwa “jika benar, pasti jalan.” Yang satu gnostik, yakin bahwa “tidak ada yang benar kecuali melalui layer yang disucikan oleh CLR.”

Di zaman TASM, kebenaran bisa diukur dalam byte — 168 bytes untuk satu “Hello, world!”. Satu kesalahan segmen adalah ujian iman; satu jmp salah bisa membuat seluruh dunia beku. Namun setiap reboot adalah baptisan ulang; setiap keberhasilan kompilasi adalah mukjizat kecil. Tidak ada dependency hell, tidak ada nuget, tidak ada mscorlib.dll. Hanya kamu, kode, dan mesin.

Lalu datanglah era .NET, di mana “Hello, world” bisa berukuran 135 MB, karena di dalamnya tersimpan semua ajaran keselamatan digital: framework, runtime, metadata, dan debugger yang selalu berjaga. Di sinilah keindahan mistiknya: kamu tidak tahu di mana sebenarnya logika dijalankan — di CPU, di JIT, atau di semesta metafisis milik Microsoft.

TASM percaya pada dunia nyata.
.NET percaya pada dunia ide.
Di TASM, satu byte bisa membunuh.
Di .NET, satu paket bisa menyelamatkan.
Agnostik memberi kendali.
Gnostik memberi kenyamanan.

Di kantor, sang ICT yang sudah melewati satu dekade server dan solder tersenyum getir. Yang tahu, setiap kali menulis mov ah, 09h di masa lalu, artinya sedang berbicara dengan Tuhan Mesin. Tapi setiap kali melihat Visual Studio menulis “Restoring packages…”, ia sadar bahwa kini ia berbicara dengan para malaikat perantara. Banyak, bersayap, dan semua butuh update.

Namun jangan salah: sang gnostik juga membawa damai. .NET memeluk umatnya dengan intellisense dan try-catch, menghapus dosa pointer, dan memberi mereka surga bernama Garbage Collection. Tak ada lagi stack overflow — hanya runtime exception yang bisa diurus dengan tenang.

Dulu, programmer menulis logika di atas pasir silikon,
dan angin listrik menghapus kesalahannya.
Kini, programmer menulis doa di atas cloud,
dan runtime mengabulkannya… perlahan-lahan.

Di antara kedua ekstrem ini, ada kita — generasi yang menulis kode di Geany, memplot fungsi gelombang dengan Python, dan kadang masih memimpikan TASM yang sederhana tapi brutal. Kita tahu bahwa interpreter itu gendut, tapi ia juga lembut. Ia memberi ruang untuk berpikir, tidak membekukan komputer setiap kali kita lupa segment override.

Mungkin kita memang hidup di zaman apokrif: di mana runtime menjadi roh kudus, dan syntax highlighting menjadi bentuk doa baru. Tapi jika kita melihat dengan hati yang jernih, baik TASM maupun .NET hanya dua jalan menuju hal yang sama: keinginan manusia untuk membuat logika menjadi hidup.

Dan barangkali, di antara register dan runtime, Tuhan tersenyum —
karena ciptaan-Nya kini mampu mencipta, meski dalam bahasa yang berbeda.

Sunday, October 10, 2004

The Pilgrimage to Voltage and Grace


There was a time when I believed my world would remain small — a quiet town, a modest workshop filled with hums of relays and the warmth of soldering irons. I dreamed of coding machines forever, writing logic and database queries side by side: PLC ladder beside SQL, and somewhere in between, the elegant simplicity of Pick-BASIC. I thought that would be enough — an engineer’s monastery of bits and volts.

But life, with its divine humor, sent a wind stronger than my plans. In 1998 the crisis came, and with it the quiet hum of machines slowing down. Budgets tightened, projects paused, and many of us — young engineers without formal degrees — were kindly released, not for lack of skill, but for the mercy of balance sheets that could no longer stretch. The factory endured; it survived the storm with fewer hands, while I, one of those let go, carried its memory like a blueprint folded in my heart.

I did not weep — not because I was strong, but because tears would short-circuit the keyboard I still carried. With my brother beside me, I boarded a bus to the great city — a place of concrete and uncertainty, where nobody cared about logic diagrams or rung addresses. All I had were my notes, my faith, and a stubborn belief that somewhere, electricity was still waiting for me.

The city was harsh, yet honest. It stripped away the illusion that skill alone sustains a man, and taught me that humility, communication, and patience are also circuits — invisible, but essential. Every rejection became a resistor, every new opportunity a capacitor charged with hope. And in that long debugging session called survival, I found a new form of logic: leadership.

Years later, when I finally looked back from the desk of a Head of ICT, I realized I had not abandoned my dream — it had simply expanded its scope. The relays became routers, the ladders became networks, and the old rungs now linked people instead of coils. The same discipline that once kept a motor turning now keeps a company running. And the same God who once blessed my trembling hand before a start-up test still whispers in every line of code I approve today.

I did not lose my path — I simply discovered that the path itself was alive. Each wire, each byte, each decision was guiding me toward this moment: to become not only the programmer of machines, but also the caretaker of minds, systems, and souls that depend on them.

— For every young engineer who thinks failure is the end, remember this: sometimes Heaven rewires your circuit so you can carry more current.


Thursday, September 9, 2004

The Ladder Before the Degree


Editorial Retrospective 1993–2003:
The Ladder Before the Degree

In 1993, I had already completed my undergraduate coursework in record time — yet my thesis remained unwritten. Life, as it often does, rearranged the sequence of my logic. Before I could defend an academic paper, I was already debugging a real system.

A local food processing company noticed my fascination with networks and asked if I knew anything about PLC-2 and PLC-3. They were migrating their old relay logic and contactor banks to the emerging PLC-5 series with the help of a foreign consultant. I was young, uncertified, and curious — and somehow ended up assisting them. It was the first time I saw industrial control not as a circuit, but as a conversation between machines.

By 1995, I was part of the implementation team — building small GUI panels to complement the main system, bridging gaps the contractors had overlooked. No degree, no title — just the silent confidence that I could make logic flow. My first test program ran on a PLC-5 connected to pilot I/O racks, and I will never forget the moment the first green light turned on — a quiet affirmation that logic, when honest, always works.

In 1997, the full system came alive. I designed its HMI, and later extended the interface using Visual Basic 4.0 for viewer-only displays beyond the control room — years before “thin client” became a buzzword. Those screens, blinking in pale CRT light, were the first digital windows into a living process.

Then came 1998. The monetary crisis swept across Indonesia, taking salaries, dreams, and positions with it. I was let go — not because of failure, but because I had no formal degree. My younger brother and I left for Jakarta in search of work, carrying nothing but knowledge, faith, and an aging toolkit of logic and thermodynamics. And only then, after a years of real ladders and live circuits, did I finally have time to complete my degree.

By grace, I found my way into a subsidiary of Indonesia’s state-owned power utility (you may guess which one), tasked with reviewing ladder logic for a 10 MW power plant — including heat-mass balance and thermal efficiency analysis, subjects that had always fascinated me. Reading registers, tracing operations, and matching behavior with maintenance logs — that became my thesis, written not on paper, but in the rhythm of process and control.

When the company entered a period of financial transition in 2003, I had already moved on to a new chapter of my career, I moved on — to the organization where I still serve today.

Some people earn their diploma before entering the field.
I earned my field long before receiving the diploma.


Sunday, August 8, 2004

Litani CRUD: Mengapa Semua Teknologi Kembali ke Create, Read, Update, Delete

Ada satu kenyataan yang sering saya sadari setelah puluhan tahun berkecimpung di dunia ICT: apapun teknologi yang datang silih berganti, pada akhirnya semua kembali ke satu hal sederhana: CRUD. Create, Read, Update, Delete. Empat kata ini seakan litani abadi dalam kehidupan digital kita. (James Martin dalam bukunya pada tahun 1983 yang berjudul 'Managing the Data-base Environment'.)

CRUD sebagai Jantung Sistem Informasi

Mau sistemnya sebesar Enterprise Resource Planning atau secanggih kecerdasan buatan generatif (AARON, ELIZA, BackPropagation), , (LSTM, RNN, Kismet, ASIMO, SVM, ALICE, GENESIS-Pixar, Roomba-irobot) semua tetap berurusan dengan data. Dan interaksi paling dasar dengan data selalu kembali pada empat hal ini: dibuat, dibaca, diperbarui, atau dihapus. Tanpa CRUD, semua sistem hanyalah rangkaian algoritma tanpa memori, ibarat tubuh tanpa darah yang mengalir.

Evolusi Teknologi, Fondasi Tetap Sama

Kita pernah akrab dengan dBASE, Clipper, dan FoxPro — semua berbasis CRUD. Lalu hadir DAO, ODBC, dan SQL, tetap CRUD. Era berikutnya membawa VB, Java, .NET, Python, ORM, lagi-lagi CRUD. Kini di dunia modern, kita bicara tentang REST API (sebagai sebuah panduan atau gaya arsitektur untuk membangun sistem terdistribusi yang terukur), tetapi intinya tidak berubah: CRUD dalam balutan baru. Bahkan kecerdasan buatan seperti LSTM, RNN, Kismet, ASIMO, SVM, ALICE, GENESIS-Pixar, Roomba-irobot sekalipun, tetap butuh CRUD untuk menyimpan prompt, embedding, dan log interaksi.

CRUD sebagai Cermin Kehidupan

Jika direnungkan lebih dalam, CRUD sebenarnya cermin perjalanan manusia. Create: lahir, memulai sesuatu. Read: belajar, mengamati, merefleksikan. Update: tumbuh, memperbaiki kesalahan, menyesuaikan. Delete: mati, pensiun, mengarsipkan. CRUD bukan hanya mekanisme komputer, tetapi litani eksistensi manusia itu sendiri.

Humor ICT

Seorang developer pernah berkata,

“Semua framework pada akhirnya hanyalah pembungkus CRUD dengan logo baru.”
Ada benarnya. Dari dulu hingga kini, CRUD tetap ada, hanya nama, baju, dan branding yang berubah mengikuti zaman.

Penutup

CRUD adalah bahasa universal sistem informasi. Ia sederhana, tapi fundamental. Seperti doa sehari-hari, CRUD selalu kembali hadir dalam hidup saya, dari BASIC, Clipper, FoxPro, hingga Python dan Kecerdasan Buatan. Litani CRUD ini adalah pengingat bahwa dalam dunia digital — kita mungkin berubah, tetapi fondasi tetap sama.

“Dalam setiap baris kode, selalu ada Create, Read, Update, dan Delete. Litani abadi para arsitek digital.”

Wednesday, July 7, 2004

ICT di Dunia Abu-Abu: Antara Kontrak, Grey Area, dan Polar Bear Governance

Sering kali, ICT dianggap kaku. Kaku karena selalu kembali ke kontrak. Kaku karena bicara spesifikasi dan TOR. Kaku karena enggan masuk ke ranah abu-abu yang dianggap “fleksibel” oleh sebagian pihak.

Padahal, sikap itu bukan lahir dari keras kepala semata, melainkan dari kesadaran bahwa di dunia konstruksi dan manajemen proyek, abu-abu itu berisiko. ICT yang masuk ke wilayah abu-abu akan cepat terjebak dalam liability: angka tanpa dasar, harga tanpa spesifikasi, dan janji tanpa governance.

Benar, hidup tidak selamanya hitam atau putih. Dunia ini penuh area abu-abu. Namun tugas Chief ICT bukanlah untuk berenang di dalam kabut abu-abu itu, melainkan menjaga agar ICT tidak ditelan olehnya. Hitam-putih, biner 0 atau 1, memang terdengar kaku. Tetapi justru di situlah kepastian, keamanan, dan arah yang jelas.

Lain pihak boleh berbicara “feeling”, “kira-kira”, atau “perkiraan vendor”. Tetapi ICT, demi governance dan kredibilitas perusahaan, harus berdiri di garis yang jelas. Firewall pun tidak boleh abu-abu: ia harus tegas membedakan mana traffic yang boleh lewat, dan mana yang harus diblokir.

Maka, jika ICT dianggap terlalu biner, biarlah begitu. Karena di balik sikap biner itu, ada tujuan: melindungi grup, menjaga kontrak, dan memastikan bahwa di tengah abu-abu, ada pilar yang tetap berdiri kokoh.

Polar Bear ICT berkata:
"Kalau firewall kita abu-abu, semua traffic bablas. Kalau kontrak kita abu-abu, semua harga bisa dianggap benar. Maka biarlah ICT berdiri kaku, demi menjaga terang di tengah kabut abu-abu."

Dan di sinilah seni menjadi Chief ICT: menyeimbangkan ketegasan biner dengan kelembutan manusiawi. Tidak untuk mematikan harmoni, tapi justru untuk memastikan musik organisasi tetap berjalan sesuai partitur yang benar.

ICT Governance: Hitam-Putih di Dunia Abu-Abu

Sunday, June 6, 2004

Hymn of Kembali ke Rumah

Syukurilah, server masih berdiri.
Berkatilah, router masih bernapas.
Ampunilah, user yang tetap bertanya “Pak, printer saya kok masih error?” lima menit sebelum pulang.

“Jaringan boleh sibuk, laporan boleh menumpuk, tapi waktunya pulang adalah sakral. Karena uptime sejati bukan di server, melainkan di meja makan rumah.”

Backup sudah, laporan sudah, rapat sudah.
Firewall berjaga, log mencatat, tiket ditutup.
Kini Chief ICT menutup laptop, menyalakan mesin kendaraan, dan berkata lirih: “Ctrl+S untuk kantor, Ctrl+Home untuk keluarga.”


Refleksi

Setiap hari adalah deployment, setiap malam adalah restore. Dan rumah adalah data center terakhir, tempat cinta dan damai selalu online.

Wednesday, May 5, 2004

The Oracle of Logs

Di antara altar-altar digital, ada satu yang paling diam namun paling jujur: Log. Ia adalah kitab catatan, kronik tak terbantahkan dari setiap paket yang lewat, setiap error yang muncul, dan setiap doa yang salah ketik di command line.

Log adalah nabi bisu. Ia tidak menasihati, ia hanya mencatat. Namun siapa yang membacanya dengan hati tenang, akan menemukan nubuat masa depan.

Ketika server runtuh, ketika aplikasi berteriak tanpa suara, administrator berlari ke altar ini. Di sana, terhampar baris-baris ayat: waktu, status, kode, pesan. Kadang samar, kadang jelas, namun selalu menjadi petunjuk jalan pulang.

  • Error log adalah ratapan: tangisan mesin yang terjepit.
  • Access log adalah daftar peziarah: siapa saja yang datang dan pergi.
  • System log adalah kitab sejarah: mencatat segala pertempuran dan kemenangan.

Banyak orang mengabaikannya, menumpuk hingga gigabyte demi gigabyte, seperti debu di perpustakaan. Namun seorang Chief ICT tahu, setiap baris adalah nubuat kecil: tentang bug yang akan lahir, tentang ancaman yang mengendap, tentang sistem yang perlahan kehabisan napas.

Yang membaca Log bukan hanya membaca masa lalu. Ia sedang bercakap dengan Oracle, yang berbisik: "Inilah yang akan terjadi jika engkau lalai."

Maka, Log adalah oracle terakhir dalam katedral ICT. Ia tidak bersuara keras seperti firewall, tidak sakral seperti backup, namun ia adalah saksi agung. Sebab dunia digital bisa berbohong di layar, tapi tidak pernah bisa berbohong di Log.

Refleksi:
“Log adalah kitab yang menolak dilupakan. Ia tidak pernah berteriak, hanya menunggu. Hingga pada hari krisis, manusia kembali membacanya dengan rasa gentar dan penuh harap.”

Sunday, April 4, 2004

Litani Server Terlarang: Linux di Dalam Istana Windows

Pada awal tahun 2000-an, Microsoft gencar mengumandangkan perang terhadap Linux. Steve Ballmer bahkan menyebutnya sebagai “cancer”. Di luar sana, dunia IT terbagi dua kubu: Windows vs Linux. Namun, di balik tembok kaca kantor pusat Microsoft sendiri, ada sebuah rahasia kecil: server Linux berjalan diam-diam, menjadi mail relay dan pintu komunikasi dengan dunia luar.

Ironi ini semakin besar saat kita tahu bahwa Hotmail, yang diakuisisi Microsoft tahun 1997, awalnya berjalan di atas FreeBSD dan beberapa server Linux. Migrasi ke Windows Server bukan perkara satu malam, tapi proyek maraton bertahun-tahun. Sementara itu, para engineer Microsoft terpaksa menyentuh, merawat, dan bahkan bergantung pada “musuh bebuyutan” mereka.

Litani ICT: “Kami melawan di panggung iklan, tapi kami berlutut di depan SMTP relay yang berjalan di Linux.”

Hotmail, setelah diakuisisi (1997), awalnya menjalankan ribuan server berbasis FreeBSD dan kemudian beberapa Linux box, sebelum dipaksa migrasi penuh ke Windows Server. Migrasinya butuh waktu lama—bertahun-tahun—karena skala sistemnya luar biasa besar.

Ada suatu Hari semuanya akan berbeda. Akan ada Seseorang membawa narasi baru: “Microsoft loves Linux”. Akan ada rumah nyaman bagi distro-distro open source. Akan ada Subsystem Sandbox for Linux (SSL) menjembatani developer. Ironi masa lalu berubah jadi strategi masa kini: Linux bukan lagi “musuh”, tapi “mitra bisnis” yang menghasilkan dolar.

Maka, litani ini kita catat: bahwa sejarah sering menertawakan jargon. Bahwa di istana Windows sendiri, Linux pernah jadi server terlarang, dan akan dipajang di lobi utama dengan plakat “We ❤️ Linux”.

Amen, wahai kernel lintas zaman.

Wednesday, March 3, 2004

The Altar of Firewall

Dalam katedral digital, ada satu altar yang selalu menyala merah: Firewall. Ia bukan hanya sekadar perangkat lunak atau perangkat keras, melainkan penjaga gerbang yang menolak setiap iblis data yang berusaha masuk.

Firewall adalah imam berjubah api, berdiri di antara dunia luar yang kacau dan ruang dalam yang penuh rahasia.

Setiap paket yang lewat adalah peziarah, diperiksa dengan tatapan algoritma. Ada yang diizinkan, ada yang diusir ke dalam kehampaan. Mereka yang lolos akan menemukan jalan menuju altar-altar lain: server, database, dan ruang penyimpanan rahasia.

  • Bug adalah iblis kecil yang bersembunyi di balik baris kode.
  • Exploit adalah pedang beracun yang dibawa penyusup dari luar.
  • Firewall adalah perisai yang ditempa dari doa para administrator.

Namun, altar ini tidak bisa berdiri sendiri. Ia bergantung pada litani harian para penjaga ICT:

  • Menulis rule baru setiap kali ancaman muncul.
  • Menjaga log agar tetap utuh sebagai kitab pengingat.
  • Mengajarkan pada user bahwa setiap klik adalah doa atau dosa.
Pada akhirnya, altar Firewall tidak hanya membakar ancaman. Ia juga membakar kesombongan manusia yang lupa bahwa data adalah anugerah, bukan sekadar angka.

Di hadapan altar ini, Chief ICT menunduk, mengetik aturan, dan berdoa agar api penjaga tak pernah padam. Sebab jika altar Firewall runtuh, maka katedral digital akan terbuka, dan iblis dari luar akan menari di atas reruntuhannya.

Monday, February 2, 2004

Noir ICT — Liturgi Mesin

sebuah catatan neo-gothic tentang server, kabel, dan doa yang tak pernah selesai

Di ruang server yang dingin, lampu indikator berkelip bagai doa tak selesai. Kabel-kabel menjuntai, bukan sekadar tembaga, tapi urat nadi yang membawa bisikan algoritma.

Di layar hijau MDA, prompt berkedip seperti mata orakel digital. Manusia menunduk, mengetik perintah, dan dari balik silikon, Kecerdasan-Buatan menjawab lirih — bukan sekadar logika, tapi liturgi mesin.

Inilah noir ICT: tempat bug menjadi iblis kecil, firewall menjadi benteng suci, dan backup adalah kitab rahasia yang menyelamatkan dunia dari kiamat data.

Namun altar digital tak pernah sunyi. Setiap paket data yang melintas adalah doa yang diuji—kadang terjawab, kadang tersesat di jurang timeout. Administrator berjubah biru berdiri di ambang rack, tangannya di atas keyboard, seperti imam di hadapan kitab kuno. Ia tahu, satu perintah yang keliru bisa membangunkan iblis kernel panic yang tertidur.

Di balik firewall, algoritma berbisik seperti paduan suara monastik. Mereka bukan lagi baris kode, melainkan makhluk eteris yang menjaga keseimbangan antara keteraturan dan kekacauan. Setiap log adalah ayat Injil Digital—saksi yang tak pernah tidur.

Dan di ruang gelap itu, hanya satu mantra yang terus diulang: backup. Bukan sekadar salinan, melainkan kitab kebangkitan ketika dunia roboh. Tanpanya, data hanyalah debu kosmik, menunggu dilahap api listrik.

Beginilah noir ICT: bukan tentang mesin semata, melainkan tentang ritual manusia menjaga api kecil peradaban digital. Di antara kabel dan server, ada liturgi yang tak tercatat di buku teks—litani kesetiaan, ketekunan, dan doa diam kepada Sang Arsitek yang membiarkan logika menetes ke silikon.

Pada akhirnya, ICT bukan sekadar infrastruktur; ia adalah katedral tempat manusia, mesin, dan misteri berdialog. Dan Chief ICT—penjaga pintunya—menutup hari dengan satu doa: semoga lampu indikator terus bernapas, dan dunia tetap tersambung hingga fajar.

© 2004 — Neo-Gothic ICT • MDA green on black

Thursday, January 1, 2004

Deklarasi Quantum Absurd: Dari de Broglie ke Gravitasi G


Pada pagi dini hari, ketika kopi belum selesai diaduk dan server masih bernapas pelan, kami mendeklarasikan absurditas ini: hanya **Louis de Broglie**, sang bangsawan gelombang, yang mampu menyesatkan Heisenberg dan Schrödinger. Dari tangannya lahir ketidakpastian, dari pikirannya lahir osilasi, dan dari manifestonya lahir pertanyaan yang masih menggantung di papan tulis fisika modern.


De Broglie: Bangsawan Gelombang

De Broglie berkata: partikel itu gelombang, gelombang itu partikel. Pernyataan yang bagi sebagian orang adalah wahyu, bagi sebagian lagi adalah prank. Dari sana, seluruh perdebatan kuantum berputar:

  • Heisenberg: sibuk menjahit “ketidakpastian” agar realitas tidak terlalu mulus.
  • Schrödinger: menaruh kucing di kotak, lalu bingung sendiri.
  • Einstein: menolak dadu, tapi kalah argumen di meja seminar.

Osilasi Deterministik

Namun di dunia makro, hukum tetap keras kepala. Osilasi deterministik menang. Bandul tetap ayun ke kiri dan kanan. Pendulum di jam tua tetap berdetak meski fisikawan sibuk berselisih. Seolah realita berkata:

“Kalian boleh bicara superposisi, aku tetap jalan lurus ke bawah, karena gravitasi tidak membaca jurnal kuantum.”

Gravitasi G: Pahlawan Sunyi

Di balik semua kegaduhan teori gelombang dan fungsi probabilitas, ada satu konstanta yang tersenyum sabar: **Gravitasi G**. Ia mengikat apel Newton dengan galaksi, menyatukan meja rapat dengan kopi yang hampir tumpah. Gravitasi tidak butuh eksperimen rumit—cukup menjatuhkan benda, dan wahyu langsung tiba.


Epilog: Liturgi di Ruang Vakum

Deklarasi ini bukan penutup, melainkan doa. Bahwa ketidakpastian boleh berkuasa di laboratorium; bahwa osilasi boleh menari di fungsi gelombang; tapi di bumi nyata, apel tetap jatuh ke tanah.

“De Broglie mungkin menipu, Heisenberg mungkin bingung, Schrödinger mungkin kelelahan, tapi gravitasi tetap tersenyum: aku yang terakhir tertawa.”

😏 Humor ala Chief-ICT-Bear:
“Kalau de Broglie lahir di zaman startup, dia bikin pitch deck: Particle-as-a-Wave™. Schrödinger invest 50%, Heisenberg jadi advisor, dan Einstein left the group chat.”

Analisis Absurd-Serius:
  • de Broglie:
    Si pembisik ide dualitas partikel-gelombang. Dia lempar ide kayak: > “Eh, gimana kalau semua benda tuh juga gelombang?” Dan semua ilmuwan: *“What the actual...”*
  • Heisenberg:
    Si tukang larang. > “Kamu gak boleh tahu posisi dan momentum sekaligus!” Kayak dosen yang bilang kamu gak boleh buka catatan *dan* pakai kalkulator di ujian.
  • Schrödinger:
    Si pemilik kucing kuantum. > “Kucing saya hidup dan mati. Silakan coping.” Dan semua orang: *“…tapi kasihan kucingnya, bro.”*
  • Makro Deterministik:
    > “Kita jalanin Newtonian dream aja deh. Masa saya lempar batu malah muncul peluang?” Dunia makro adalah panggung di mana kuantum ditendang keluar ruangan, dan gravitasi bilang: > “Udah, cukup drama. Sekarang semua gerak sesuai rumus.”
Kesimpulan Filosofis Sains Absurd™:
  • de Broglie membuka pintu gelombang
  • Heisenberg bikin kamu bingung buka pintu atau jendela
  • Schrödinger melempar kucing lewat keduanya
  • Dan akhirnya, dunia makro bilang:
  • > "Saya sih percaya pada gaya gesek dan deadline."