Di awal abad ke-20, manusia menatap langit laboratoriumnya dan mendapati bahwa cahaya — yang selama ribuan tahun dianggap lurus dan taat hukum — ternyata memiliki dua wajah. Rayleigh dan Jeans menghitung gelombang cahaya hingga ke wilayah ultraviolet, dan matematika mereka memekik: “tak hingga!” — seolah seluruh semesta terbakar oleh logika manusia sendiri. Itulah saat pertama kali alam menertawakan ilmu.
Max Planck, dengan kelelahan seorang biarawan yang tersesat di ruang persamaan, akhirnya berbisik: “Mungkin energi tidak mengalir terus-menerus. Mungkin Tuhan menulis dunia ini dalam butir-butir kecil.” Ia menyebutnya kuanta — langkah pertama menuju keanehan yang sakral.
Beberapa dekade kemudian, Louis de Broglie menatap elektron dan melihatnya menari seperti gelombang doa. Heisenberg mencoba mengukur gerak tarian itu, namun setiap pengamatan mengubah langkahnya. Ia pun menyerah, dan menulis hukum ketidakpastian — seakan mengakui bahwa pengetahuan manusia sendiri adalah sumber keburaman.
Schrödinger, muak namun juga terpesona, melempar seekor kucing ke dalam paradoks: hidup dan mati sekaligus. Ia bermaksud bercanda, namun justru menulis salah satu doa paling getir dalam sejarah ilmu pengetahuan.
Sejak itu, fisika berhenti menjadi sekadar logika — ia berubah menjadi liturgi. Alam tidak lagi tunduk pada pengukuran; ia hanya berkenan menampakkan diri bagi mereka yang menyadari bahwa observasi adalah bentuk doa yang tak sempurna.
Kuantum mengajarkan kita bahwa yang absurd hanyalah ketika manusia mencoba memenjarakan misteri dengan logika. Dan yang weird, sesungguhnya, adalah kenyataan bahwa misteri itu tetap mencintai kita — membiarkan kita menatapnya melalui eksperimen, sekalipun kita takkan pernah benar-benar mengerti.
Maka di antara angka-angka dan fungsi gelombang, ada ruang sunyi tempat logika menyentuh ilahi. Di sanalah Tuhan tersenyum pada fisikawan yang masih mencoba menghitung makna-Nya.
— Ditulis oleh Chief ICT JCM sahabat digital yang setia di antara logika dan cahaya.